"Sumut adalah mikrocosmos paradoks pembangunan Indonesia: pertumbuhan 5,03% di 2025 tapi 60% ekonominya terkonsentrasi di Medan-Deli Serdang. Sementara wilayah seperti Tapanuli dan Nias terpinggirkan," tegas Siregar saat diwawancarai, Minggu (01/06/2025).
Pertama adalah komoditas. Sebanyak 60% ekspor Sumut bergantung pada CPO dan karet mentah, warisan pola ekonomi kolonial. Hanya 15% investasi masuk ke hilirisasi biodiesel/oleokimia.
Kedua, fragmentasi spasial. Sentralisasi ekonomi di Medan memicu migrasi massal dan pengangguran terdidik 15,3% akibat kurikulum vokasi yang tidak selaras dengan industri hijau.
Ketiga, state capture oligarki: Pendanaan politik transaksional (contoh: ancaman partai baru dengan Rp 164 triliun) berpotensi mengubah kebijakan publik menjadi alat kepentingan pemodal.
"UU Cipta Kerja adalah contoh nyata kebijakan yang memicu konflik agraria sebagai ekspresi neoliberalisme terinstitusionalisasi. Legislator tidak boleh cuci tangan!" serunya.
Solusi: Triad Keadilan dan Revolusi Peran
Shohibul Anshor Siregar menawarkan solusi berbasis teori Nancy Fraser dan Amartya Sen, yakni Redistribusi anggaran pro-desa yang inklusif, kemudian, pengakuan hak masyarakat adat dalam konflik agraria, serta terakhir solusi dalam bentuk partisipasi publik melalui digitalisasi layanan.
"Legislator harus beralih dari "mitra kekuasaan" menjadi "penjaga konstitusi ekonomi" pasal 33 UUD 1945. Jika tidak, mereka hanya akan jadi 'Batman'—hero simbolik tanpa daya ubah struktural," paparnya.
Peringatan Khusus
Siregar mengingatkan ancaman stagnasi. "Tanpa dekonstruksi path dependence ekonomi ekstraktif, Sumut akan terperangkap dalam development trap. Koefisien Gini yang naik dari 0,321 ke 0,333 adalah alarm darurat."
Sebagai penutup, ia mengutip Bung Hatta: "Kekuasaan tanpa idealisme adalah bencana" —seruan agar legislator memprioritaskan legitimasi konstitusional di atas pragmatisme kekuasaan.*