BREAKING NEWS
Senin, 03 November 2025

Shohibul Anshor Siregar: Medan 435 Tahun, Demokrasi Tanpa Gigi dan Pengkhianatan Konstitusi

Tim Redaksi - Selasa, 01 Juli 2025 16:59 WIB
Shohibul Anshor Siregar: Medan 435 Tahun, Demokrasi Tanpa Gigi dan Pengkhianatan Konstitusi
Shohibul Anshor Siregar (foto: ist)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

MEDAN — Genap 435 tahun, Medan dikepung paradoks: di balik gedung-gedung baru, kriminalitas bermutasi dalam istilah-istilah sinis seperti "pagar berjalan", "rayap besi" dan "pompa Medan". Namun, bagi Shohibul Anshor Siregar ini bukan sekadar kisah kegagalan lokal.

"Ini bukti pengkhianatan sistematis terhadap konstitusi, dari Jakarta hingga Balai Kota Medan," tegas sosiolog dari FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu.

Jakarta: Proyek Legasi vs Kewajiban Negara

Shohibul menyoroti hilangnya arah pembangunan nasional. "Pemerintah pusat menguasai 80% APBN, tetapi alokasinya untuk proyek pencitraan: membangun IKN tanpa dana memadai. Sementara pengangguran dilembagakan dalam target RAPBN 5,3%," katanya.

Padahal pasal 27 ayat (2) UUD 1945, lanjut Shohibul, mewajibkan negara menyediakan pekerjaan layak. "Ini bukan kebijakan, tapi pengkhianatan konstitusi!" katanya.

Ia menambahkan, proyek infrastruktur Jokowi seperti tol dan bandara megah justru mengabaikan prioritas mendasar: "Ketika "pompa Medan" meracuni pemuda, anggaran kesehatan nasional tak menyentuh akar masalah."

Medan: Siklus Kegagalan yang Dinormalisasi

Di tingkat lokal, Shohibul menggambarkan birokrasi yang tumpul. "Eksekutif Medan hanya melakukan berbagai aktivitas yang ringan-ringan saja tanpa pengenalan akar masalah. Semisal, gelar razia seremonial saat ada insiden. DPRD sibuk bertransaksi politik. Sementara fasilitas publik dicuri "rayap besi". Penegak hukum membiarkan impunitas—kejahatan lama tak tuntas, modus baru seperti "becak hantu" pun bermunculan," paparnya.

Ia mengecam calon walikota yang memuji pendahulu: "Rico Waas dan juga Hidayatullah yang pada saat debat publik ketika musim Pilkada 2024 lalu, berlomba memuja kepemimpinan yang gagal yang akan mereka gantikan. Mereka abai bahwa kriminalitas ini warisan sistem yang mengubur konstitusi!"

Mandat Imperatif: Senjata Melawan Pengkhianatan

Di tengah krisis akuntabilitas ini, Shohibul mendesak revolusi sistem politik. "Pemilu kita hanya ritual demokrasi tanpa gigi dan didominasi oleh transaksi yang merendahkan harkat manusia. Para pemimpin eksekutif dan wakil rakyat terpilih lalu bebas khianati rakyat. Saatnya terapkan mandat imperatif: ikat politisi pada janji kampanye dan konstitusi dengan mekanisme impeachment dan recall jika melanggar," tegasnya.

Konsep ini, menurutnya, akan memutus siklus pengabaian: "Jika Jakarta jor-joran mengglorifikasi diri lewat manipulasi hegemoni IKN tapi abai kewajiban ciptakan lapangan kerja, presiden yang menggagas dan wakil rakyat yang menyetujuinya harus dihadapkan kepada sanksi impeachmen dan recall. Jika walikota tak turunkan angka "pagar berjalan", ia wajib diganti sebelum masa jabatan berakhir. Inilah demokrasi sejati: kedaulatan rakyat bukan sekadar suara di kotak pemilu!," katanya.

Suksesi Politik dan Ironi Kesejahteraan

Shohibul menyentil paradoks kebijakan pengangguran. "Sri Mulyani menargetkan 5,3% pengangguran dalam RAPBN. Itu artinya pemerintah merencanakan kegagalan memenuhi pasal 27 ayat (2). Padahal konstitusi jelas: negara wajib menjamin pekerjaan layak. Ini bukan kesalahan teknis, tapi pembangkangan terhadap cita-cita kemerdekaan," ujarnya.

Ia mengingatkan kembali filosofi dasar Indonesia: "Pemerintah pusat lupa tujuan bernegara: menghapus penjajahan—termasuk oleh bangsa sendiri. Membangun IKN sementara pengangguran di Medan dipaksa jadi "pagar berjalan" adalah bentuk penjajahan baru."

Jalan Keluar: Revolusi atau Kehancuran

Bagi Shohibul, solusinya terletak pada pemberdayaan kedaulatan rakyat. "Mekanisme mandat imperatif harus jadi senjata: wajibkan laporan periodik pejabat dengan indikator konkret—misal penurunan "pompa Medan" atau penyerapan pengangguran. Jika melenceng, rakyat bisa copot mereka melalui referendum," paparnya.

Ia menantang elit politik: "pada calon Walikota Medan: berani terima sistem ini? Atau Anda hanya ingin jadi pelestari status quo seperti pendahulu yang Anda puja?" Pesannya gelap tapi tegas: "Tanpa revolusi akuntabilitas, demokrasi kita tetap panggung sandiwara. Rakyat memilih, lalu dikhianati. Dan Medan akan tetap dikenang sebagai kota "rayap besi" di usia 435 tahunnya.*

Editor
: Redaksi
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru