BITVONLINE.COM -Pada perayaan Hari Raya Nyepi, pawai ogoh-ogoh akan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat Bali dan wisatawan.
Tradisi yang identik dengan patung-patung raksasa berwajah menyeramkan ini tidak hanya menjadi ajang kreativitas seni, tetapi juga sarat dengan makna spiritual dan simbolik yang mengakar kuat dalam budaya Hindu Bali.
Ogoh-ogoh merupakan representasi Bhuta Kala, simbol kekuatan destruktif alam dan waktu yang dalam ajaran Hindu Dharma harus dinetralisir untuk menciptakan keharmonisan.
Patung-patung ini diarak keliling desa pada malam sebelum Nyepi, dalam ritual yang dikenal sebagai ngerupuk.
Puncaknya, ogoh-ogoh dibakar sebagai bentuk penyucian dan penyeimbangan energi alam semesta.
Secara historis, istilah "ogoh-ogoh" berasal dari kata "ogah-ogah" dalam bahasa Bali, yang berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan, merujuk pada cara patung ini diarak.
Sejumlah sumber menyebut ogoh-ogoh telah dikenal sejak masa pemerintahan Dalem Balikang dan digunakan dalam upacara pitra yadnya.
Ada pula yang melacak akarnya pada tradisi Ngusaba Ngong-Nging di Desa Selat, Karangasem.
Kemunculan ogoh-ogoh dalam bentuk seperti saat ini mulai populer pada era 1970-an hingga 1980-an.
Kala itu, para seniman patung di Bali mulai beralih dari bahan keras ke bahan ringan seperti bambu, kertas, dan bahan daur ulang, guna menciptakan karya-karya besar yang mudah diarak.
Seiring penetapan Nyepi sebagai hari libur nasional pada tahun 1983, tradisi ogoh-ogoh semakin berkembang dan menjadi bagian integral dari perayaan Nyepi.