Puasa, yang mengharuskan umat Muslim menahan lapar dan dahaga dari pagi hingga petang selama satu bulan penuh, justru menjadi momen yang sangat dinantikan dan dirindukan oleh banyak orang.
Dari perspektif psikoanalisis, kebahagiaan biasanya dihubungkan dengan kenikmatan fisik dan kenyamanan.
Namun, puasa seakan menjadi anomali dalam konsep tersebut.
Lapar dan haus yang seharusnya menjadi penderitaan, justru menjadi pengalaman yang membawa kebahagiaan bagi umat Muslim.
Bagaimana bisa? Ini karena puasa memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar menahan lapar dan haus. Puasa adalah bentuk pengendalian diri, sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan spiritual, dan salah satu bentuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Tuhan.
Puasa dalam Konteks Kebahagiaan Eudamonik
Filsafat kebahagiaan, khususnya konsep eudamonisme, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari kenyamanan material, tetapi justru berasal dari pencapaian pribadi dan makna hidup.
Dalam konteks ini, puasa menjadi salah satu contoh nyata dari kebahagiaan eudamonik, yakni kebahagiaan yang tercipta meskipun ada pengorbanan dan usaha keras.