JAKARTA -Di tengah derasnya arus diskriminasi, pengucilan, hingga perusakan tempat ibadah, komunitas Ahmadiyah di Indonesia justru menunjukkan semangat yang tak padam untuk membangun masa depan.
Tahun ini, jemaat Ahmadiyah menapaki usia ke-100 tahun kehadirannya di Nusantara—sebuah tonggak sejarah penting yang tak hanya mencerminkan keteguhan iman, tetapi juga kontribusi nyata dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan, dan kemanusiaan.
Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 di Qadian, India. Ia menyebut dirinya sebagai Imam Mahdi atau Mesias yang diutus untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai dan penuh kasih.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia melalui tiga pemuda asal Sumatra Barat—Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan—yang menimba ilmu di India.
Pada tahun 1925, Maulana Rahmat Ali dikirim sebagai mubalig pertama ke Indonesia. Sejak saat itu, Ahmadiyah tumbuh sebagai komunitas Muslim yang menekankan perdamaian, pelayanan kemanusiaan, dan cinta kasih universal.
Sama seperti umat Islam lainnya, jemaat Ahmadiyah meyakini lima rukun Islam dan enam rukun iman, serta menjadikan Al-Qur'an sebagai kitab suci. Mereka mengikuti mazhab Hanafi dalam fiqih, namun penafsiran mereka banyak merujuk pada pandangan sang pendiri, Mirza Ghulam Ahmad.
Jauh dari tudingan yang kerap dialamatkan kepada mereka, jemaat Ahmadiyah pernah terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh seperti R. Mohammad Muhyiddin, pegawai tinggi di Kementerian Dalam Negeri, turut aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI.
Selain itu, mubalig Ahmadiyah juga pernah menjadi penyiar RRI berbahasa Urdu untuk mengabarkan perjuangan bangsa Indonesia ke dunia internasional.
Kini, mereka terus berkontribusi lewat jalur pendidikan dan sosial. Dua lembaga pendidikan besar milik komunitas ini antara lain:
SMA Plus Al-Wahid (didirikan tahun 2000), yang menggabungkan pendidikan agama dan umum dalam format pesantren.
ARH Boarding School (didirikan tahun 2007), yang bertujuan memperdalam pemahaman agama Islam dalam lingkungan akademik yang disiplin.
Di bidang kesehatan, sejak 1985, Ahmadiyah mencanangkan Gerakan Donor Mata untuk membantu penyandang disabilitas netra. Gerakan ini menjadi bukti nyata kepedulian komunitas terhadap isu kemanusiaan lintas keyakinan.
Meski berpegang pada prinsip damai—"Cinta untuk semua, kebencian tidak untuk siapa pun"—komunitas ini tak luput dari persekusi. Data Setara Institute mencatat, antara tahun 2007–2015 terdapat 114 masjid Ahmadiyah yang dirusak. Bahkan, fatwa MUI tahun 1980 menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat, dan fatwa ini diperkuat melalui SKB tiga menteri serta sejumlah peraturan daerah yang membatasi aktivitas mereka.
Namun, diskriminasi tersebut tak menyurutkan langkah jemaat Ahmadiyah untuk terus berbuat. Dalam peringatan 100 tahun ini, mereka mengusung dua program besar:
Kajian Al-Qur'an lintas komunitas,
Gerakan Kesadaran Lingkungan, dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat—mulai dari tokoh agama, pemuda, akademisi, hingga pemerintah.
Program ini menjadi bukti bahwa Ahmadiyah terus berkontribusi bagi negeri, bukan hanya untuk sesama jemaat, tetapi juga untuk masyarakat Indonesia secara luas.*