JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa royalti musik bukanlah bentuk pajak atau pungutan negara, melainkan hak murni yang dimiliki oleh para pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu atas karya mereka.
Ia menekankan bahwa royalti musik dikumpulkan bukan oleh pemerintah, melainkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Seratus persen kalau ada royalti musik yang terkumpul, itu bukan untuk negara dan yang pungut juga bukan negara. Bukan Kementerian Hukum, bukan Kementerian Keuangan," ujar Supratman dalam sebuah wawancara di Jakarta, Senin (4/8/2025).
Supratman menjelaskan, LMKN bukanlah badan pemerintah, meski keberadaannya dibentuk berdasarkan mandat dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM.
"LMKN merupakan lembaga nonpemerintah, yang diisi oleh para pelaku seni sendiri, seperti pencipta lagu, penyanyi, dan musisi. Maka dari itu, pengelolaan dan distribusi royalti pun berasal dari komunitas mereka sendiri," katanya.
Ia juga menyatakan komitmennya untuk menjaga transparansi dan menegaskan tidak akan mentoleransi adanya campur tangan dari pihak-pihak yang tidak berwenang.
"Apabila memang terbukti ada oknum dari Kemenkumham yang ikut campur atau cawe-cawe dalam urusan royalti musik, saya pastikan akan langsung diberhentikan," tegasnya.
Menkumham juga mengimbau semua pihak, termasuk pelaku usaha, untuk mematuhi kewajiban membayar royalti jika menggunakan karya musik dalam aktivitas komersial di ruang publik.
Ia menjelaskan, regulasi tentang royalti sebenarnya bukan hal baru, karena sudah berjalan sejak lama berdasarkan UU Hak Cipta.
"Dulu, royalti yang terkumpul hanya sekitar Rp400 juta per tahun. Kini, LMKN mencatat total royalti mencapai Rp200 miliar. Itu sudah perkembangan baik, meski kami nilai masih kecil dibanding potensi yang ada," jelas Supratman.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak melihat royalti sebagai beban, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap karya intelektual anak bangsa.
"Ini tentang keberlanjutan kreativitas dan keadilan bagi para pelaku seni yang hidup dari karya mereka," tandas Supratman.*