Aturan ini menjadi pedoman normatif bagi personel kepolisian dalam menghadapi ancaman penyerangan yang membahayakan jiwa, fasilitas negara, maupun stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, Kombes Erdi A. Chaniago, menegaskan bahwa Perkap ini disusun bukan sebagai respons atas satu peristiwa tertentu, melainkan sebagai langkah antisipatif dan preventif yang menyeluruh.
"Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 ini disusun untuk memberikan pedoman jelas bagi anggota Polri ketika menghadapi aksi penyerangan. Jadi bukan sekadar merespons satu kejadian, melainkan upaya antisipasi agar tindakan kepolisian di lapangan selalu tegas, terukur, dan sesuai ketentuan hukum," ujar Erdi dalam keterangan tertulis, Rabu (1/10/2025).
Dalam Pasal 6 Perkap disebutkan bahwa penindakan aksi penyerangan dilakukan melalui sejumlah tindakan kepolisian, termasuk peringatan, penangkapan, penggeledahan, pengamanan barang bukti, serta penggunaan senjata api secara tegas dan terukur.
Secara khusus, penggunaan senjata api diatur dalam Pasal 11.
Polisi dapat menggunakan senpi apabila terjadi penyerangan paksa ke lingkungan Polri, pembakaran, perusakan, pencurian, perampasan, penyanderaan, penjarahan, pengeroyokan, atau aksi yang mengancam jiwa personel.
"Dalam situasi seperti itu, keselamatan jiwa personel maupun masyarakat menjadi prioritas utama," tegas Erdi.
Pasal 12 mengatur bahwa senjata api yang digunakan adalah senjata organik Polri, dilengkapi dengan dua jenis amunisi, yakni amunisi karet dan amunisi tajam.
Penggunaan amunisi tajam, sebagaimana diatur dalam Pasal 15, dilakukan dalam kondisi yang dianggap membahayakan nyawa, termasuk pembakaran atau perusakan fasilitas Polri.
Perkap ini juga memperluas cakupan objek yang masuk dalam kategori "lingkungan Polri", meliputi markas komando, rumah dinas, gedung, fasilitas kesehatan, satuan pendidikan, hingga personel Polri sendiri.