Mantan Bupati Kepulauan Tanimbar, Maluku, Petrus Fatlolon (58), tersangka dalam dua perkara dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp 7,2 miliar. (foto: Dok. Kejati Maluku)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
MALUKU – Mantan Bupati Kepulauan Tanimbar, Maluku, Petrus Fatlolon (58), kini berstatus tersangka dalam dua perkara dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp 7,2 miliar.
Petrus diduga menyelewengkan anggaran terkait Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif serta penyertaan modal PT Tanimbar Energi pada 2020-2022.
Kasi Intel Kejari Kepulauan Tanimbar, Garuda Cakti Vira Tama, menyebutkan, Petrus pertama kali ditetapkan sebagai tersangka kasus SPPD fiktif pada 2024.
Dugaan penyelewengan anggaran perjalanan dinas tahun 2020 ini mencapai kerugian negara Rp 1,09 miliar, dengan tanggung jawab pribadi tersangka Rp 314 juta.
"Dalam perkara yang lain, SPPD fiktif ini masih dalam pendalaman," ujar Garuda, Jumat (21/11/2025).
Kasus kedua yang menjerat Petrus terkait penyertaan modal PT Tanimbar Energi, yang menyebabkan kerugian negara Rp 6,2 miliar.
Penyidik menyebutkan, pencairan dana dilakukan tanpa dokumen fundamental BUMD, seperti RKAT, SOP, rencana bisnis, maupun audit akuntan publik.
Padahal PT Tanimbar Energi tidak menghasilkan deviden maupun kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Seluruh permohonan pencairan tetap disetujui tersangka, meskipun tidak ada mekanisme semestinya. Dana ini digunakan di luar tujuan, termasuk untuk usaha bawang dan pembayaran gaji direksi," terang Garuda.
Petrus telah menjalani pemeriksaan awal di Kantor Kejati Maluku pada Kamis (20/11) dan resmi ditetapkan tersangka setelah terpenuhi dua alat bukti sah, melibatkan 57 saksi serta 98 dokumen dan barang bukti elektronik.
Saat ini, Petrus ditahan di Rutan Kelas IIA Ambon selama 20 hari ke depan. Perkara ini telah dinyatakan lengkap (P21) dan akan segera disidangkan di Pengadilan Tipikor Ambon.
Kasus ini kembali menyoroti praktik penyalahgunaan anggaran di lingkup pemerintah daerah dan pengelolaan BUMD yang lemah, di tengah kebutuhan transparansi dan akuntabilitas publik.*