BREAKING NEWS
Minggu, 19 Oktober 2025

Mediasi Sengketa Pertanahan: Solusi Damai atau Penundaan Kepastian Hukum?

Fira - Minggu, 29 Juni 2025 19:39 WIB
Mediasi Sengketa Pertanahan: Solusi Damai atau Penundaan Kepastian Hukum?
IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, praktisi hukum dan mahasiswa doktoral kebijakan publik. (foto: Fira)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA — Mediasi kerap dipandang sebagai jalan tengah dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia.

Mekanisme non-litigasi ini dinilai mampu menekan eskalasi konflik serta menjadi sarana dialog yang lebih manusiawi dan restoratif.

Namun, sejumlah kalangan mulai mempertanyakan efektivitas dan netralitas pelaksanaannya, terutama jika konflik bersumber dari lembaga penyelenggara itu sendiri.

Salah satu pandangan kritis disampaikan oleh IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, praktisi hukum dan mahasiswa doktoral kebijakan publik.

Dalam pernyataannya kepada JurnalPatroliNews, Minggu (29/6/2025), Agung menyampaikan bahwa mediasi hanya akan efektif apabila dijalankan secara adil, transparan, dan menjunjung netralitas aparatur sipil negara (ASN) serta lembaga yang terlibat.

"Mediasi merupakan sarana luhur jika dijalankan dalam koridor yang tepat. Namun, dalam situasi tertentu, mediasi justru digunakan bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk menunda bahkan mengaburkan akar permasalahan hukum," ujarnya.

Agung menyoroti kasus di mana dua pihak mengklaim lahan yang sama.

Salah satu pihak mengalami keterlambatan proses administrasi, sementara pihak lain justru lebih cepat memperoleh sertifikat tanah meski diduga menggunakan dokumen yang tidak sah.

Mirisnya, alih-alih mengoreksi, pejabat terkait justru menawarkan mediasi sebagai solusi.

"Jika pejabat sudah mengetahui ada cacat administratif, maka tindakan korektif lebih tepat dibanding sekadar mediasi," imbuhnya.

Agung merujuk pada Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 Pasal 29 ayat (1) dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 64, yang menegaskan bahwa pejabat wajib membatalkan keputusan yang terbukti cacat secara hukum.

Meski begitu, Agung tetap melihat mediasi sebagai sarana penting dalam konflik yang tidak melibatkan pelanggaran substansi hukum, seperti sengketa batas tanah antar dua pemilik sah atau persoalan waris yang belum menemukan kesepakatan.

"Ketika mediasi dilaksanakan dalam suasana netral dan bebas dari pelanggaran administratif, maka itu menjadi bagian dari pelayanan publik yang bijaksana," tuturnya.

Lebih lanjut, Agung menekankan pentingnya penguatan pengawasan melekat (waskat) di tubuh lembaga pertanahan.

Menurutnya, pengawasan tidak cukup sekadar administratif, tetapi harus mampu menyentuh substansi dan moralitas di balik formalitas dokumen.

"Sering kali pelanggaran tersembunyi di balik kelengkapan dokumen. Maka, kecermatan dan kepekaan moral harus menjadi bagian dari sistem pengawasan," jelasnya.

Agung juga mengingatkan bahwa kepercayaan publik lahir bukan hanya dari hasil pelayanan, tetapi dari integritas dan komitmen aparatur negara dalam menegakkan nilai-nilai keadilan.

"Masyarakat kini semakin cerdas. Mereka menilai pejabat dari proses, bukan hanya hasil. Keberanian membatalkan keputusan tidak sah jauh lebih terhormat daripada bersembunyi di balik prosedur formal," tegasnya.

Sebagai penutup, Agung mengajak seluruh pejabat publik, khususnya di bidang pertanahan, untuk menjunjung amanah jabatan dengan hati bersih dan niat tulus.

"Jika melayani adalah bagian dari nilai luhur kebangsaan, maka jagalah kemurniannya. Hukum tidak bermakna jika tidak ditegakkan dengan kejujuran," pungkasnya.*

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru