Pengalaman kita sudah menunjukkan sejak 1981, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang awalnya disambut sebagai ”karya agung”, ternyata fatamorgana.
BARANG lebih berharga dari manusia? Jangan pernah terjadi. Kalau sampai dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) nanti, barang lebih berharga daripada manusia, RKUHAP yang saat ini sedang dibahas DPR akan menjadi "tragedi kemanusiaan".
Oleh karena itu, perlu kewaspadaan dari semua pihak sejak jauh-jauh hari supaya tragedi kemanusiaan itu tidak akan pernah terjadi.
Pengalaman kita sudah menunjukkan sejak 1981, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang awalnya disambut sebagai "karya agung", ternyata fatamorgana. Peradilan setelah KUHAP ternyata tidak lebih baik daripada yang digantikannya, Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
Profesi advokat, misalnya, tidak mendapat tempat selain "pelengkap penderita" terjepit di antara benturan konsep "diferensiasi fungsional" dan "dominus litis", siapa yang lebih diutamakan. Profesi advokat menjadi korban.
Saya mencatat setidaknya ada tiga masalah utama mengapa hukum acara pidana (SPP) saat ini "buruk" sehingga perlu menjadi bagian dari perbaikan RKUHAP. Tentu harus lebih baik dari yang digantikan kelak.
Pertama, SPP tidak terpadu sesuai perintah UUD '45. Kedua, pilihan model SPP tidak tepat. Ketiga, hak asasi manusia (HAM) ditempatkan hanya sebagai retorika.
Apabila perbaikan ketiga masalah utama ini sungguh dilakukan, akan bisa diharapkan SPP yang buruk itu berubah menjadi baik untuk masa mendatang.
Artinya, KUHAP mendatang akan memanusiakan manusia Indonesia dengan keadilan berdasarkan Pancasila.
Dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan pembahasan pada hal pertama, yakni SPP yang tidak terpadu sesuai perintah UUD '45. Keterpaduan ini dari perspektif tiga hak advokat (baca: kewenangan) yang sudah dinormakan dalam UU Advokat.
Ketiganya ini telah dibiarkan seperti "layang-layang putus" karena ketiganya "tidak terpadu" dengan hukum acara pidana saat ini (KUHAP).
Karena tidak taat asas, ibarat seperti layang-layang putus, tidak terkontrol. Ketentuan pelaksana (peraturan Kepolisian/perpol, peraturan Kejaksaan/perja, peraturan Mahkamah Agung/perma) lebih tinggi dan lebih banyak daripada norma KUHAP.