BREAKING NEWS
Sabtu, 05 Juli 2025

Warisan Kartini dan Gelombang Balik Patriarki: Menyelisik Perlawanan terhadap Emansipasi Perempuan di Indonesia

Redaksi - Selasa, 22 April 2025 08:27 WIB
255 view
Warisan Kartini dan Gelombang Balik Patriarki: Menyelisik Perlawanan terhadap Emansipasi Perempuan di Indonesia
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Media dan budaya populer dapat memainkan peran dalam memperkuat stereotip ini, membatasi aspirasi perempuan dan meremehkan kontribusi mereka di luar ranah domestik. Misalnya, narasi yang berlebihan tentang 'kodrat wanita' atau idealisasi peran ibu tunggal yang 'kuat', tapi terbebani secara tidak adil dapat menjadi bentuk backlash.

Kedua, politisasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan sering kali menjadi fokus perdebatan politik dan ideologis, terutama terkait dengan isu-isu seperti kesehatan reproduksi, aborsi, dan pakaian. Pembatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi atau upaya untuk mengatur cara berpakaian perempuan ialah contoh bagaimana tubuh perempuan dijadikan medan pertempuran ideologi, merampas otonomi mereka atas diri sendiri.

Baca Juga:

Di beberapa negara, termasuk wacana konservatif di Indonesia, regulasi ketat terkait dengan moralitas dan peran gender sering kali menargetkan tubuh dan seksualitas perempuan. Masih suburnya berbagai peraturan bias gender yang mengontrol sikap dan tubuh Perempuan di beberapa daerah.

Ketiga, meremehkan pencapaian perempuan. Ketika perempuan mencapai posisi kepemimpinan atau meraih kesuksesan dalam bidang yang didominasi laki-laki, sering kali muncul upaya untuk meremehkan pencapaian mereka atau mengatribusikannya pada faktor lain selain kemampuan dan kerja keras mereka. Misalnya, komentar seksis atau anggapan bahwa keberhasilan perempuan hanya karena 'kuota' atau 'keberuntungan' ialah manifestasi dari backlash.

Baca Juga:

Keempat, peningkatan kekerasan berbasis gender: ironisnya, kemajuan perempuan dalam ruang publik terkadang diiringi oleh peningkatan kekerasan berbasis gender, baik secara fisik maupun daring. Hal itu dapat dilihat sebagai upaya untuk 'menghukum' perempuan yang melanggar batas-batas tradisional dan mempertahankan dominasi laki-laki melalui ketakutan dan intimidasi. Data Komnas Perempuan di Indonesia secara konsisten menunjukkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah domestik maupun publik, yang mengindikasikan adanya resistensi terhadap emansipasi. Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini yang dimuat oleh berbagai media menunjukkan indikasi meningkatnya kekerasan terhadap perempuan baik pelecehan maupun pembunuhan.

Kelima, erosi kebijakan pro perempuan. Di beberapa negara, tekanan politik dan sosial dapat menyebabkan erosi kebijakankebijakan yang bertujuan meningkatkan kesetaraan gender. Misalnya, penundaan atau pembatalan rancangan undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan atau pemotongan anggaran untuk program-program pemberdayaan perempuan ialah contoh konkret dari backlash dalam ranah kebijakan. Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tidak kunjung diterbitkan kendati sudah dua dekade diperbincangkan. Padahal, RUU inilah jantung pekerja domestik yang sebagian besar dihuni oleh perempuan.

Senada dengan Faludi, Naomi Wolf melalui analisisnya yang tajam dalam The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1990) membongkar mitos-mitos patriarki yang tersembunyi di balik norma sosial. Ia mengajak kita untuk melihat bagaimana konstruksi sosial tentang kecantikan, seksualitas, dan peran gender membatasi potensi perempuan dan melanggengkan ketidaksetaraan.

Dalam semangat Wolf, kita perlu mempertanyakan secara radikal narasi-narasi dominan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Konstruksi patriarki yang merasionalisasi kekerasan, membatasi partisipasi, dan membungkam suara perempuan harus dibongkar. Misalnya, standar kecantikan yang tidak realistis yang dipromosikan oleh media dapat dilihat sebagai alat patriarki untuk mengalihkan perhatian perempuan dari isu-isu politik dan sosial yang lebih penting sekaligus menciptakan rasa tidak aman dan ketergantungan pada industri yang mengomersialkan kecantikan.

PANGGILAN ABADI UNTUK TERUS BERJUANG

Warisan Kartini bukanlah sekadar romantisme kebaya dan surat-surat usang masa lalu, melainkan panggilan abadi untuk terus berjuang demi emansipasi perempuan dan relasi gender yang setara. Di tengah maraknya kekerasan, minimnya representasi, dan gelombang balik resistensi yang nyata, semangat Kartini harus terus menyala dalam diri setiap individu yang mendambakan keadilan. Kita tidak bisa lagi berpuas diri dengan capaian-capaian semu. Kita harus berani menyelisik akar permasalahan, menantang norma-norma patriarki yang merugikan, dan menciptakan ruang yang aman dan setara bagi seluruh perempuan Indonesia.

Perjuangan Kartini belum usai. Bara emansipasi yang ia nyalakan penting untuk terus kita kobarkan, menjadi suluh penerang di tengah belantara patriarki kontemporer. Itu bukan hanya tugas perempuan, melainkan juga tanggung jawab kolektif seluruh bangsa untuk mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan yang sesungguhnya: kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Megawati Sentil Perempuan Glowing: Boleh Cantik, Tapi Harus Pintar dan Kenal Sejarah!
Pemprov Sumut Komitmen Dukung Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak
PJMI Gelar Pertemuan Nasional, Perkuat Peran Janda Mandiri dalam Ekonomi Kreatif
Menag Nasaruddin Umar: Agama Harus Jadi Penguat Martabat Perempuan, Bukan Alat Diskriminasi
komentar
beritaTerbaru