BREAKING NEWS
Sabtu, 06 September 2025

Pancasila yang Laju dan yang Layu

Redaksi - Selasa, 03 Juni 2025 07:32 WIB
Pancasila yang Laju dan yang Layu
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Ironi Indonesia

Ironisnya, pusaka nilai yang luhur itu lebih tumbuh kuat dan sehat di jantung kehidupan komunitas, tetapi belum cukup meresap ke ranah politik-kenegaraan, dengan segala implikasi negatifnya bagi persatuan dan keadilan.

Di tengah warga, gotong royong hadir dalam semangat silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mewaraskan), silih asuh (saling membimbing).

Baca Juga:

Tatkala nilai itu memasuki ranah politik, wujudnya perlahan berubah. Apa yang di kampung-kampung tumbuh sebagai kemurahan hati, di gedung-gedung parlemen kerap menjelma menjadi kompromi penuh kalkulasi.

Yang semula mengikat warga dalam kebersamaan yang menyehatkan, beralih rupa menjadi transaksi kepentingan yang membusukkan. Gotong royong yang sejatinya mencerminkan cinta konstruktif, menjelma menjadi gotong-royong yang sungsang: korupsi berjamaah, politik akomodasi, dan aliansi oportunistik demi ambisi kekuasaan.

Seolah menjadi ironi sejarah Indonesia: komunitas yang sehat dalam negara yang sakit. Di tengah masyarakat yang masih menyimpan kearifan kolektif dan semangat saling jaga, negara justru kehilangan arah etik dalam mengelola kekuasaan. Akar budaya warga belum menemukan kanal politik yang mampu menyalurkannya.

Nilai-nilai luhur yang hidup di lorong kampung belum menjelma menjadi roh dalam pengambilan keputusan. Demokrasi prosedural yang kita anut berjalan dalam bentuk, tetapi kerap kosong isi—hadir dalam mekanisme, tetapi absen dalam semangat.

Maka, lahirlah negara yang limbung, terputus dari jiwa rakyatnya, terjebak dalam logika kuasa yang hampa makna.

Partai politik, misalnya, tak lagi menjadi wahana perjuangan aspirasi dan aksi kolektif. Ia telah menjelma menjadi semacam perusahaan privat yang dikendalikan oleh segelintir orang kuat.

Sistem perwakilan yang semestinya menjadi jembatan bagi keragaman kebangsaan kini cenderung tereduksi menjadi kontestasi perwakilan individual, tanpa menjamin kehadiran wakil golongan marjinal dan unsur strategis bangsa, maupun representasi sejati dari basis-basis komunitas kedaerahan.

Demokrasi pun kehilangan daya wakilnya, terperangkap dalam mekanisme elektoral yang menjauh dari semangat gotong royong yang positif.

Keputusan politik kerap lahir tergesa, dibayangi semangat mayoritarianisme yang lebih menonjolkan unjuk kekuatan ketimbang merawat kebijaksanaan kolektif. Musyawarah-mufakat—nadi demokrasi gotong-royong, perlahan ditinggalkan, digantikan oleh voting yang cepat tetapi dangkal.

Suara minoritas kurang dihargai; pandangan yang berbeda dianggap sebagai gangguan, alih-alih penyeimbang. Aspirasi akar rumput tersisih oleh pemaksaan elite, yang lebih sibuk menghitung kalkulasi kuasa daripada membangun kesepahaman.

Demokrasi yang semestinya tumbuh dari percakapan, perjumpaan, dan pertukaran gagasan justru menyusut menjadi perlombaan angka nirsubstansi.

Sistem perencanaan pembangunan di negara ini pun kian menjauh dari semangat gotong royong.

Haluan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) cenderung berpusat pada kepentingan cabang eksekutif, tanpa cukup membuka ruang bagi aspirasi cabang-cabang kekuasaan lainnya.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Sri Mulyani Sebut Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf, Ini Penjelasannya!
Peringati Hari Lahir Pancasila, Pemkab Batu Bara Gelar Upacara
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru