BREAKING NEWS
Selasa, 17 Juni 2025

Sejarah Zonk

Redaksi - Selasa, 17 Juni 2025 08:24 WIB
98 view
Sejarah Zonk
Reformasi 98. (foto: fahum umsu)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Ade Alawi

ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Alhasil, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian," kata sastrawan legendaris Indonesia itu. Tak hanya orang, kehebatan sebuah bangsa juga akan sirna, ditelan zaman, dilupakan, bahkan tak bernilai apa-apa jika tak ditulis atau dibukukan.

Baca Juga:

Generasi sebuah bangsa harus mengetahui seperti apa bangsa mereka, kelebihan dan kekurangan mereka, serta nilai-nilai apa yang diwariskan para pendahulu mereka.

Dengan demikian, generasi bangsa akan mengetahui identitas bangsa mereka. Mereka akan bisa membedakan identitas bangsa mereka dengan bangsa lain. Identitas kebangsaan itu akan memperkuat karakter sebuah bangsa sehingga perjalanan sebuah bangsa sampai kapan pun tidak akan kehilangan arah.

Baca Juga:

Penulisan sejarah bangsa bisa berangkat dari tokoh-tokoh mereka. Tokoh sejarah yang telah berjuang untuk bangsa, berjuang untuk kemerdekaan, atau berjuang untuk mengisi kemerdekaan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah menyebutkan prinsip dasar pedoman penulisan tokoh sejarah ialah nasionalisme, objektif, inspiratif, dan faktual.

Selain penulisan tokoh sejarah, suatu generasi bangsa harus mengetahui peristiwa fenomenal sebuah bangsa. Peristiwa besar nan bersejarah bagi bangsa sangat penting ditulis untuk menggelorakan nasionalisme, patriotisme, dan sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara.

Demikian pula peristiwa buruk dalam sejarah perjalanan bangsa juga perlu ditulis agar menjadi perhatian, kewaspadaan, sehingga peristiwa itu tidak terulang, seperti peristiwa G-30-S/PKI dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Kini, publik dihebohkan dengan riuh rendah rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan dijadikan kado spesial bagi 80 tahun kemerdekaan pada 17 Agustus 2025.

Sebanyak 120 sejarawan terlibat dalam penulisan yang akan menghasilkan 10 jilid buku sejarah resmi versi pemerintah sejak zaman prasejarah hingga era 2024. Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon sudah menyiapkan anggaran sebanyak Rp9 miliar untuk proyek tersebut.

Menurut Menteri Kebudayaaan Fadli Zon, penulisan ulang sejarah Indonesia itu ingin memberikan tone positif untuk menguatkan persatuan bangsa. "Tak banyak bangsa yang bisa bertahan sampai 70 hingga 80 tahun seperti Indonesia," kata Fadli dalam program Kontroversi di Metro TV pada 12 Juni 2025.

Dia menegaskan dalam penulisan sejarah itu pemerintah hanya akan mengangkat aspek positif dari tokoh atau peristiwa. "Prinsipnya, mikul dhuwur mendhem jero seperti Pak Harto sampaikan. Setiap tokoh punya kelebihan dan kekurangan. Nah, kelebihannya ini yang kita angkat," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Fadli menyatakan penulisan sejarah Indonesia tidak akan membuka luka lama bangsa Indonesia. "Buat apa sejarah ditulis kalau untuk memecah persatuan bangsa, bukan mempersatukan bangsa?" tuturnya seraya mempertanyakan definisi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebelumnya, politikus Gerindra itu membuat pernyataan bahwa pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998 hanya rumor. Pasalnya, kata dia, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei '98. Hal itu disampaikan dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6)

Sontak pernyataan Fadli mendapat reaksi keras sejumlah pegiat HAM.

Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia menilai pernyataan Fadli merupakan bentuk penyangkalan sejarah.

Pernyataan tersebut, kata Ita, mengingkari fakta sejarah yang telah didokumentasikan secara resmi, termasuk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 halaman 609, serta laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pascareformasi.

"Dalam buku tersebut tertulis bahwa pada pergolakan politik Mei 1998, terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo," ungkapnya dalam konferensi pers, Jumat (13/6).

Berdasarkan hasil penyelidikan TGPF bentukan Presiden BJ Habibie dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 23 Juli 1998 disebutkan sebanyak 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan.

Selain itu, sebanyak 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual dan sembilan korban pelecehan seksual.

Kekerasan seksual dalam Kerusuhan Mei 1998, menurut laporan itu, terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha.

Walakin, Menbud Fadli Zon bergeming. Menurutnya, tragedi 'Pemerkosaan Massal Mei 1998' tidak mempunyai data pendukung yang solid. "Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku," katanya dalam keterangan pers, Senin (16/6).

Setelah melihat perspektif Fadli terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk perkosaaan massal pada Kerusuhan Mei 1998, dan tekadnya untuk tidak memasukkan kasus pelanggatan HAM dalam sejarah Indonesia, tak mengherankan sejumlah pihak menilai hal itu bentuk penyangkalan negara terhadap kasus-kasus tersebut.

Padahal, tak hanya era Presiden BJ Habibie yang mengakui kasus pelanggaran HAM berat pada 1998, Presiden Joko Widodo setali tiga uang. Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM.

Kasus yang ditangani tim yang juga belum selesai itu sebanyak 13 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Amat disayangkan Fadli yang notabene representasi negara bila menyangkal sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.

Alih-alih menyelesaikan secara tuntas peristiwa pahit dan kelam yang mengoyak-oyak sendi berbangsa dan bernegara itu, Fadli tak sudi menulisnya dalam sebuah buku yang dibiayai negara.

Rakyat berhak mendapatkan materi penulisan sejarah yang benar. Bukan sejarah yang dibelokkan, dikaburkan, apalagi disangkal atau dihilangkan.

Pelanggaran HAM berat ialah sejarah kelam bangsa ini. Noktah hitam sejarah. Bila negara tak bisa menuntaskan, setidaknya tidak melupakan agar menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang.

Sulit rasanya kita menggapai Indonesia maju, Indonesia emas 2045, bila kita tidak bisa menghargai HAM. Maju-mundurnya peradaban suatu bangsa bergantung pada sejauh mana penghargaan mereka terhadap HAM. Siapa pun tidak boleh mengabaikan, mengurangi, atau merampas HAM.

Sejarah, kata John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton, bukanlah beban ingatan, melainkan penerangan jiwa. Tabik!* (mediaindonesia.com)

*)Dewan Redaksi Media Group

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Bambang Pacul Sentil Pernyataan Fadli Zon soal Pem3rko54an Massal 1998: “Jangan Sok Bener Sendiri”
TNI Bantah Keras Tudingan Pelanggaran HAM terhadap Anggota OPM Abral Wandikbo
Yasonna Laoly Kecam Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal 1998: "Apakah Habibie Bohong?"
Fadli Zon Klarifikasi Pernyataan Kontroversial Soal P3rkos4an Massal Mei 1998: Sejarah Harus Berdasarkan Fakta
Komnas Perempuan Kecam Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi Mei 1998: “Menyakitkan dan Perpanjang Impunitas”
Indonesia-Belanda Sepakat Perkuat Kerja Sama Repatriasi Benda Budaya
komentar
beritaTerbaru