BREAKING NEWS
Sabtu, 21 Juni 2025

Kekayaan Kita Untuk Siapa?

Redaksi - Sabtu, 21 Juni 2025 07:47 WIB
54 view
Kekayaan Kita Untuk Siapa?
Raja Ampat. (foto: tangkapan layar ig wonderfulindonesia)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Keuntungan mengalir ke pusat, ke luar negeri dan para pemegang saham. Sementara desa-desa yang menjadi lokasi tambang hanya menerima jejak-jejak kerusakan dan janji reklamasi yang tak kunjung ditepati. Kita harus bertanya, apakah sistem pembagian hasil tambang kita adil? Apakah perizinan tambang selama ini telah memperhitungkan hak masyarakat adat, dan hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan partisipasi publik?

Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Sumber daya alam tidak boleh lagi diposisikan semata sebagai komoditas ekspor atau alat untuk memperkaya investor. Ia adalah amanat konstitusi dan harus dikelolah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran segelintir elit. Tambang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan bukan menjadi sumber kehancuran. Selama arus manfaatnya hanya mengalir keluar, bukan ke rakyat sekitar tambang, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan perampasan.

Baca Juga:

Jika tidak segera dikoreksi maka kita sedang menyaksikan bagaimana kekayaan alam menjadi kutukan dan bukan berkah. Salah satu tema sentral terhadap sistem ekonomi saat ini adalah apa yang ia sebut sebagai net outflow of national wealth, di mana kekayaan nasional Indonesia lebih banyak mengalir ke luar negeri daripada dimanfaatkan untuk pembangunan dalam negeri. Fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan telah berlangsung selama ratusan tahun sejak masa penjajahan, mencerminkan pola eksploitasi yang masih berlangsung hingga hari ini.

Meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, negara ini belum mampu memanfaatkan kekayaannya secara optimal untuk kesejahteraan rakyatnya, yang justru terus tertinggal akibat kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada kepentingan nasional. Setiap tahun, rata-rata aliran dana gelap di Indonesia mencapai angka signifikan, memperburuk situasi di mana kekayaan yang seharusnya digunakan untuk memajukan bangsa malah mengalir ke luar negeri.

Fakta ini memperkuat argumen Prabowo bahwa ada masalah struktural dalam pengelolaan kekayaan negara yang harus segera di atasi untuk menghindari pengulangan pola penjajahan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Krisis Keadilan Ekonomi

Presiden Prabowo Subianto, dalam bukunya "Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045," menawarkan visi yang tidak hanya ambisius, tetapi juga sarat kedalaman pemikiran yang mencerminkan alam pikirnya sebagai seorang pemimpin yang peduli pada masa depan Indonesia.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, seperti perubahan iklim, ketidakstabilan geopolitik, dan perkembangan teknologi begitu cepat, Prabowo menekankan pentingnya kembali ke nilai-nilai dasar yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa dalam UUD 1945. Dia percaya bahwa untuk mencapai Indonesia kuat, makmur, dan disegani di panggung internasional, kita harus kembali ke prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila, sistem yang dirancang untuk menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam pemikiran Presiden Prabowo, Ekonomi Pancasila bukan sekadar konsep ekonomi; ia adalah cerminan dari identitas nasional yang menempatkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama di atas kepentingan individu. Dalam pandangannya, ekonomi bukan hanya tentang bagaimana sumber daya dialokasikan, tetapi juga tentang bagaimana kita memandang diri kita sebagai bangsa dan bagaimana kita memutuskan untuk hidup bersama.

Karena itu, kembali ke prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila adalah upaya untuk menyelaraskan kembali arah pembangunan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi landasan berdirinya negara ini. Presiden Prabowo berargumen bahwa penyimpangan dari nilai-nilai ini telah menciptakan ketimpangan yang sangat mencolok di Indonesia. Ketika mekanisme pasar dan segelintir oligarki mengendalikan perekonomian, yang terjadi adalah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terpinggirkan. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Kunjungi Sorong, Bahlil Diteriaki "Penipu": Dinilai Tak Jujur Soal Tambang Nikel Raja Ampat
Walhi Laporkan 47 Perusahaan ke Kejagung, Kerugian Negara Rp 437 Triliun Akibat Eksploitasi Sumber Daya Alam
komentar
beritaTerbaru