BREAKING NEWS
Kamis, 26 Juni 2025

Membangunkan Raksasa Aceh yang Tertidur

T.Jamaluddin - Kamis, 26 Juni 2025 07:18 WIB
152 view
Membangunkan Raksasa Aceh yang Tertidur
DR. Ir. M. Sabri, Dosen Universitas Sumatera Utara,Putra Aceh (foto: T.jamaluddin)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Yang bisa menjadi pembeda Aceh dari Shenzhen adalah fokus keberlanjutan. Sementara Shenzhen dibangun dengan biaya lingkungan yang tinggi, "Shenzhen Baru" Aceh dapat dirancang sebagai pusat manufaktur hijau yang memanfaatkan kelimpahan energi terbarukan dan proses produksi netral karbon.

Ada keadilan puitis dalam momentum ini. Aceh yang pernah mengalami marginalisasi selama era sentralisasi Orde Baru, kini mendapat kesempatan untuk kembali ke posisi yang seharusnya sebagai gerbang barat Indonesia. Status otonomi khusus yang diperoleh melalui perjuangan panjang, kini menjadi keunggulan kompetitif dalam mengembangkan ekosistem ramah bisnis.

Sabang Free Port, yang sempat mati suri selama puluhan tahun, kini mendapat angin segar melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2023. Namun revitalisasi Sabang tanpa pengembangan Aceh secara komprehensif akan menciptakan pelabuhan terisolasi tanpa dukungan hinterland—seperti membangun bandara megah di tengah padang pasir.

Yang dibutuhkan adalah strategi pembangunan terpadu yang melihat Aceh-Sabang sebagai satu kesatuan ekonomi. Banda Aceh sebagai pusat komersial, Sabang sebagai gerbang maritim, dan seluruh Provinsi Aceh sebagai hinterland ekonomi yang menyediakan sumber daya manusia, bahan baku, dan basis pasar.

Ekonomi Provinsi Strategis

Data menunjukkan ironi yang menyakitkan: Aceh memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia dengan cadangan terbukti 36,72 TCF, namun kontribusi terhadap PDB nasional hanya 1,2%. Potensi energi terbarukan Aceh diestimasi 60.000 MW—cukup untuk memasok seluruh Sumatera.

Aceh adalah paradoks ekonomi: kaya sumber daya tetapi miskin infrastruktur, strategis secara geografis tetapi pinggiran secara ekonomi.

Kra Canal Thailand yang menelan biaya USD 20 miliar memberikan perspektif menarik tentang nilai investasi dalam infrastruktur strategis. Untuk mengembangkan Aceh menjadi alternatif kompetitif, Indonesia memerlukan investasi senilai USD 15-25 miliar dalam 10 tahun—setara dengan biaya Kra Canal tetapi dengan tingkat pengembalian investasi yang jauh lebih berkelanjutan karena membangun di atas keunggulan alamiah.

Tahap 1: Fondasi Infrastruktur Terpadu (2025-2028)

Pembangunan Sabang-Aceh harus dimulai dengan dual-track approach: digital-first port services dan manufacturing-ready infrastructure yang terintegrasi sejak awal.

Infrastruktur Pelabuhan Digital Sabang menjadi prioritas utama dengan sistem pelacakan kapal waktu nyata, alokasi dermaga bertenaga AI, dan platform pemeliharaan prediktif. Penanganan kargo otomatis dan dokumentasi berbasis blockchain akan mengurangi waktu bongkar muat hingga 40%, khusus melayani manufaktur tepat waktu di Aceh.

Editor
: Justin Nova
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru