BREAKING NEWS
Minggu, 29 Juni 2025

Spiritual Yang Membebaskan: Ruh Kepemimpinan Muhammadiyah

Redaksi - Sabtu, 28 Juni 2025 16:27 WIB
122 view
Spiritual Yang Membebaskan: Ruh Kepemimpinan Muhammadiyah
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: H. M. Yamin, SE, M. Si

DI tengah dunia yang kian digerakkan oleh kepentingan material, gerakan Islam seperti Muhammadiyah tampil sebagai penanda arah: bahwa nilai-nilai spiritual tak boleh ditinggalkan. Namun, spiritualitas yang dimaksud bukan sekadar doa dan ibadah ritual. Lebih dari itu, ia menjelma menjadi kekuatan perubahan sosial melalui pendidikan, layanan kesehatan, advokasi, dan pemberdayaan umat. Di sinilah pentingnya spiritual leadership, kepemimpinan yang menjadikan nilai sebagai cahaya, bukan sekadar formalitas posisi.

Spiritual Leadership: Menyatukan Iman dan Aksi Sosial

Baca Juga:

Konsep spiritual leadership atau kepemimpinan spiritual merujuk pada kemampuan memimpin berdasarkan nilai, visi, dan harapan yang melampaui dunia fisik. Seperti dijelaskan Fry (2003), kepemimpinan ini bertumpu pada iman (faith), harapan (hope), visi (vision), dan cinta altruistik (altruistic love), yakni kepedulian tulus kepada orang lain tanpa pamrih. Dalam perspektif Islam, pemimpin adalah amanah yang diemban oleh mereka yang mampu menjaga integritas, sebagaimana diajarkan dalam QS. Al-Baqarah:124 dan QS. Al-Mulk:2.

Muhammadiyah mengambil dasar spiritualitas profetik dari Al-Qur'an, terutama QS. Al-Ma'un, yang secara tegas mengecam keberagamaan yang hanya bersifat ritualistik, namun abai terhadap anak yatim, orang miskin, dan tanggung jawab sosial. KH Ahmad Dahlan menjadikan ayat ini sebagai titik tolak gerakan pembaruan, bahwa agama harus hidup dalam amal, bukan simbol semata.

Dengan demikian, spiritual leadership dalam Muhammadiyah bukanlah konsep abstrak, melainkan nyata dalam kerja-kerja sosial, pendidikan, dan dakwah yang membebaskan.

Muhammadiyah dan Masyarakat Madani: Spirit Madinah, Bukan Sekadar Simbol

Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat madani, konsep yang mengakar dari nilai-nilai kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW: inklusif, adil, plural, dan menjunjung hukum. Inilah makna sejati dari madani, yang sering disalahpahami atau disamakan dengan kata medeni, dalam bahasa Jawa berarti "menakutkan". Kesalahan pemahaman inilah yang harus diluruskan. Madani adalah simbol peradaban, bukan ancaman.

Dalam kerangka madani, Muhammadiyah bergerak sebagai kekuatan sipil (civil society) yang independen dan advokatif. Ia melakukan amar ma'ruf nahi munkar, memberi pendidikan politik umat, serta menjadi mitra sekaligus pengkritik konstruktif terhadap negara. Nilai-nilai spiritual diterjemahkan dalam bentuk advokasi, pelayanan sosial, dan penguatan karakter umat, bukan hanya sebagai ajaran, tetapi sebagai aksi.

Salah satu bentuk nyata peran ini adalah langkah Muhammadiyah dalam melakukan judicial review terhadap undang-undang yang dinilai merugikan rakyat kecil. Misalnya, Muhammadiyah pernah menggugat UU Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU Minerba, dan UU Omnibus Law karena dianggap melemahkan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat miskin yang hidup di sekitar wilayah eksploitasi. Melalui Majelis Hukum dan HAM serta jejaring advokasinya, Muhammadiyah memperlihatkan bahwa gerakan dakwah bukan hanya di mimbar, tetapi juga di ruang Mahkamah Konstitusi.

Tindakan ini adalah pengejawantahan dari semangat QS. Al-Ma'un dalam konteks kebangsaan: membela yang lemah, memperjuangkan keadilan, dan memastikan hukum berpihak pada nilai kemanusiaan.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Sinergi Dakwah Digital: LPCR-PM PWM Sumut Terima Audiensi BKMQu Indonesia Bahas Kolaborasi Masjid Era Digital
komentar
beritaTerbaru