BREAKING NEWS
Minggu, 03 Agustus 2025

Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi

Redaksi - Sabtu, 02 Agustus 2025 07:35 WIB
71 view
Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi
Ilustrasi. (foto: Kolase by Canva/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Beberapa alasan yang mendasari usulan pilkada tidak langsung, mulai dari efisiensi biaya yang dikeluarkan negara hingga mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh kandidat, yang menyisahkan beban politik di kemudian hari.

Memang, dalam beberapa pilkada serentak sejak 2017 hingga 2024, negara telah menggelontorkan anggaran kisaran 80,65 triliun (Tempo, 2024), belum lagi biaya pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah yang diperkirakan Rp 1 triliun.

Baca Juga:

Secara fiskal, itu menjadi alasan kuat untuk mempertimbangkan efisiensi biaya pilkada. Jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, negara bisa menghemat puluhan triliun rupiah yang sebelumnya digunakan untuk logistik, penyelenggaraan tahapan kampanye, serta pengawasan di ribuan TPS.

Dalam sistem pilkada tidak langsung, tentu pemilihan hanya dilakukan di gedung DPRD, tanpa melibatkan banyak unsur yang memerlukan biaya besar, sehingga jauh lebih murah dibandingkan pilkada serentak dipilih oleh rakyat di seluruh daerah.

Baca Juga:

Tak hanya itu, calon kepala daerah juga akan menghemat biaya tanpa kampanye yang dapat menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Bayangkan, dari sekian kolega yang saya temui, bahkan saya menyaksikan langsung bagaimana politik uang menjadi alat ampuh pemenangan, dan bagaimana ongkos politik dapat mencapai Rp 20 miliar, Rp 50 miliar, bahkan ada calon kandidat yang menghabiskan ratusan miliar untuk mendapatkan kursi jabatan bupati.

Makanya tak heran jika muncul usulan dari elite politik tentang wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD, dengan alasan realitas politik hari ini.

Walakin, pro-kontra sudah mulai mencuat ke publik, antara civil society dengan elite politik, bahkan mayoritas publik menolak dengan alasan pilkada tidak langsung dapat mengurangi nilai-nilai demokrasi, termasuk hak partisipasi politik masyarakat.

Sedangkan di sisi lain, sebagian elite politik baik legislatif maupun eksekutif menyampaikan bahwa pilkada yang dilakukan DPRD pun tetap demokratis, sebab DPRD merupakan representasi atau perwakilan yang dipilih oleh rakyat, yang kemudian disebut demokrasi perwakilan, sebagaimana salah satunya disampaikan oleh Mendagri, Tito Karnavian (detikNews, 29/7/2025).

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah publik akan menerima jika pilkada dipilih oleh DPRD dengan alasan demokrasi perwakilan, mengingat legitimasi sistem demokrasi tetap ada pada rakyat?

Aspirasi Publik

Tampaknya demokrasi perwakilan tidak sejalan dengan aspirasi publik seperti yang tersajikan dalam hasil survei Politika Research & Konsulting pada bulan Juni lalu (26/6/2025).

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru