BREAKING NEWS
Sabtu, 06 Desember 2025

Majelis Adat Aceh dan Masa Depan Otonomi Kultural: Meneguhkan Fondasi Perdamaian Melalui Kearifan Lokal

BITV Admin - Jumat, 07 November 2025 09:00 WIB
Majelis Adat Aceh dan Masa Depan Otonomi Kultural: Meneguhkan Fondasi Perdamaian Melalui Kearifan Lokal
DR. Iskandar Muda Hasibuan, Pemerhati Sosial. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Adat, Otonomi, dan Perdamaian
Dalam perspektif antropologi politik, adat berfungsi sebagai sistem nilai dan norma yang menstrukturkan kehidupan sosial serta menjadi sumber legitimasi politik lokal.

Di Aceh, adat memiliki kedudukan unik karena terjalin erat dengan nilai-nilai Islam, menciptakan sintesis antara hukum adat dan hukum agama.

Konsep otonomi kultural (cultural autonomy) menekankan hak masyarakat untuk mengelola identitas dan institusinya sendiri dalam kerangka negara nasional.

Dalam konteks Aceh, UUPA menjadi instrumen konstitusional untuk menginstitusionalisasi hak tersebut, sementara MAA merupakan pelaksananya di tingkat sosial dan budaya.

Baca Juga:

Selain itu, peacebuilding pascakonflik yang berkelanjutan menuntut rekonstruksi kelembagaan berbasis budaya lokal, bukan hanya kesepakatan politik.

MAA memiliki potensi besar untuk menjalankan fungsi tersebut melalui mediasi adat, pendidikan nilai, dan pemulihan kohesi sosial di masyarakat Aceh

Peran Strategis dan Tantangan Institusional Majelis Adat Aceh
MAA memiliki tiga peran utama dalam konteks pembangunan perdamaian dan tata kelola daerah:

1. Sebagai mekanisme keadilan restoratif.
MAA mampu menyelesaikan sengketa sosial berbasis komunitas melalui musyawarah dan rekonsiliasi, mengedepankan pemulihan relasi sosial daripada penghukuman (Fanani, 2018).

2. Sebagai penjaga nilai moral publik dan identitas sosial.
Nilai-nilai seperti peumulia jamee, meusyuhu, dan peureuleuët dapat diintegrasikan ke dalam sistem etika publik daerah sebagai dasar tata kelola yang berkeadaban.

3. Sebagai penghubung antara masyarakat dan negara.
Legitimasi adat menjadikan MAA lembaga yang dipercaya publik untuk menjembatani aspirasi masyarakat dalam proses kebijakan lokal (Sulaiman, 2020).

Beberapa tantangan mendasar yang dihadapi MAA meliputi:
- Kelemahan kelembagaan dan ketergantungan fiskal.
Ketergantungan pada anggaran pemerintah daerah membatasi independensi dan inovasi program.

- Fragmentasi antarwilayah.
Tidak adanya standar kelembagaan antara MAA kabupaten/kota menyebabkan ketidakkonsistenan fungsi dan legitimasi.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
DBFW 2025 Hari ke-6: 13 Organisasi Perempuan Tampilkan Kreasi Wastra Bali di Panggung Ksirarnawa
Gubernur Koster Dukung Revisi UU Pemerintahan Daerah, Minta Perhatikan Karakteristik Tiap Provinsi
Polda Aceh dan Komnas HAM Perkuat Sinergi Penegakan Hukum Berkeadilan
Medan Indian Film Week 2025: Nikmati Film India Gratis di Grand City Hall!
Vadel Badjideh Dijatuhi Vonis Lebih Berat: Dari 9 Tahun Menjadi 12 Tahun Penjara, Apa Alasannya?
Ribuan Penonton Terpukau! Budaya Batak Toba Jadi Sorotan di PSBD Batu Bara ke-VII
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru