BREAKING NEWS
Sabtu, 20 Desember 2025

Logika Terbalik Negara dan Hilangnya Akal Sehat dalam Kebijakan Kemanusiaan

BITV Admin - Jumat, 19 Desember 2025 22:03 WIB
Logika Terbalik Negara dan Hilangnya Akal Sehat dalam Kebijakan Kemanusiaan
Bantuan dari UAE diserahkan ke Pemko Medan untuk korban terdampak bencana. (Foto: Dok. Pemko Medan)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Ruben Cornelius.

MARI kita mulai dari logika paling dasar, yang bahkan tidak membutuhkan teori kebijakan publik.

Jika sebuah wilayah dilanda bencana, korban kekurangan pangan, dan bantuan beras tersedia untuk dibagikan, maka keputusan rasional adalah menerima dan mendistribusikannya. Titik.

Baca Juga:

Tidak perlu jargon kedaulatan, tidak perlu tafsir geopolitik.

Namun justru logika elementer inilah yang ditabrak negara ketika 30 ton beras bantuan Uni Emirat Arab dikembalikan oleh Pemerintah Kota Medan atas instruksi pemerintah pusat.

Pada momen itu, kebijakan negara tidak lagi berbicara tentang penyelamatan manusia, melainkan tentang penyelamatan citra.

Beras bukan alat intervensi politik, bukan simbol ideologi asing, dan bukan instrumen tekanan internasional.

Ia adalah pangan dasar, yaitu sesuatu yang oleh Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Poverty and Famines disebut sebagai fondasi paling elementer dari keamanan manusia.

Ketika negara menolak pangan di tengah kelaparan pengungsi, yang dipertaruhkan bukan sekadar prosedur administratif, melainkan logika moral kebijakan itu sendiri.

Maka pertanyaan yang tidak bisa dihindari adalah:

ancaman apa yang sebenarnya sedang dihadapi negara, sehingga beras untuk korban bencana dianggap lebih berbahaya daripada risiko kelaparan massal?

Jawaban yang sering muncul adalah kedaulatan. Namun kedaulatan seperti apa yang sedang dibela?

Dalam literatur klasik kebijakan publik, kedaulatan negara selalu berkelindan dengan kewajiban melindungi warga.

Thomas Hobbes sudah lama mengingatkan bahwa legitimasi negara runtuh ketika ia gagal menjamin keselamatan dasar rakyatnya.

Jika kedaulatan justru digunakan untuk menolak bantuan kemanusiaan non-militer, maka yang dipertahankan bukanlah kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan simbolik elite untuk mengontrol narasi politik.

Negara berkali-kali menyatakan "masih mampu" menangani bencana secara mandiri.

Pernyataan ini terdengar heroik, tetapi kosong jika tidak diuji dengan data.

Fakta di lapangan menunjukkan korban jiwa menembus lebih dari seribu orang, jutaan warga terdampak, ratusan ribu rumah rusak, lahan pertanian lumpuh, dan kerugian ekonomi di berbagai wilayah Sumatra mencapai puluhan triliun rupiah.

Aceh Timur saja mencatat kerugian lebih dari Rp5 triliun.

Dalam kondisi ini, menolak bantuan pangan bukan tanda kapasitas, melainkan tanda keterputusan antara klaim negara dan realitas korban.

Negara mungkin mampu menjaga retorika, tetapi jelas kewalahan memenuhi kebutuhan dasar warganya secara cepat dan merata.

Dalam logika ekonomi kebijakan, keputusan ini bahkan lebih problematik. Bantuan pangan gratis menurunkan tekanan fiskal, mempercepat pemulihan, dan mencegah kerugian lanjutan akibat penyakit, malnutrisi, dan disrupsi sosial.

Menolaknya berarti negara secara sadar memilih opsi yang lebih mahal dan kurang efisien.

Dalam istilah Dye, ini adalah contoh klasik policy failure by design, yaitu kegagalan kebijakan yang lahir bukan karena kurangnya informasi, tetapi karena pilihan politik yang disengaja.

Negara membayar lebih mahal demi mempertahankan narasi kemandirian, sementara korban membayar dengan waktu, kesehatan, dan martabat.

Dalih kedaulatan semakin runtuh jika diuji secara komparatif.

Jepang membuka diri terhadap bantuan internasional pascatsunami 2011 tanpa kehilangan status sebagai negara berdaulat dan maju.

Amerika Serikat menerima bantuan asing setelah Hurricane Katrina tanpa merasa kedaulatannya tercabik.

Bahkan India, yang sempat menolak bantuan internasional pada awal bencana topan Odisha, kemudian menuai kritik tajam karena keterlambatan respons yang berujung pada meningkatnya korban tidak langsung.

Studi oleh Macrae, J. (2001) dalam buku yang berjudul Aiding recovery: the crisis of aid in chronic political emergencies menunjukkan bahwa negara yang mempolitisasi kedaulatan dengan menutup diri dari bantuan justru mengalami pemulihan yang lebih lambat dan penderitaan yang lebih panjang.

Sehingga dari hal tersebut maka menolak bantuan bukan praktik negara kuat, melainkan ciri negara yang terjebak pada simbolisme kekuasaan.

Dalam kerangka teori politik bencana, apa yang terjadi mengartikan apa yang disebut Kathleen Tierney sebagai disaster politics, ketika bencana diperlakukan sebagai arena produksi legitimasi dan kontrol narasi.

Negara tidak hanya mengelola risiko alam, tetapi juga mengelola citra kekuasaan.

Dengan kacamata Foucault, keputusan menolak bantuan dapat dibaca sebagai praktik biopolitik, di mana negara mengatur hidup dan mati warganya melalui mekanisme administratif, yaitu siapa yang boleh menolong, kapan, dan dalam batas apa.

Korban direduksi menjadi angka statistik yang harus menyesuaikan diri dengan kepentingan narasi, bukan subjek kebijakan yang kebutuhannya menjadi pusat keputusan.

Logika ini berbahaya karena membalik tujuan negara. Keselamatan warga, yang seharusnya menjadi tujuan, diturunkan derajatnya menjadi alat.

Pemerintah daerah kehilangan fungsi etiknya dan direduksi menjadi operator kepatuhan vertikal.

Alih-alih menggunakan diskresi kemanusiaan, mereka mengembalikan beras dengan rapi, sementara pengungsian kekurangan pasokan.

Secara rasional, ini bukan tata kelola, melainkan kepatuhan birokratis yang hampa makna, seperti apa yang oleh Max Weber sebut sebagai rasionalitas formal yang kehilangan rasionalitas substantif.

Pertanyaan sangat sederhana dan tidak bisa dielakkan oleh logika mana pun, yaitu jika bantuan ditolak, siapa yang diuntungkan? Korban jelas tidak. Daerah terdampak juga tidak.

Yang tersisa hanyalah kepuasan simbolik elite yang berhasil mempertahankan narasi negara kuat, meskipun realitas di lapangan menunjukkan kerapuhan.

Jika demikian, maka kebijakan ini tidak layak disebut sebagai pertahanan kedaulatan.

Ia lebih tepat disebut sebagai kegagalan berpikir logis dalam menghadapi penderitaan nyata.

Negara tidak dibentuk untuk memenangkan lomba gengsi politik, melainkan untuk meminimalkan penderitaan warganya.

Ketika beras dipulangkan sementara korban kelaparan, yang sebenarnya dikembalikan bukan hanya bantuan, melainkan akal sehat kebijakan itu sendiri.

Dan di titik itulah publik berhak, bahkan wajib bertanya:

apakah negara masih berpikir untuk rakyat, atau hanya untuk menjaga cermin tempat ia memuja citranya sendiri?*

*) Penulis adalah peneliti dan penulis opini, serta pendiri Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia.

Editor
: Raman Krisna
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Bahlil Pastikan Kapasitas Pembangkit Banda Aceh Sudah Beroperasi Penuh
Hari Bela Negara 2025, ASN Kanwil Kemenkumham Bali Bersatu Teguhkan Semangat Nasional
Mayoritas Jalan Nasional dan Provinsi di Aceh, Sumut, dan Sumbar Kembali Bisa Dilalui Pasca-Banjir
Prabowo Tinjau Pengungsi Banjir dan Longsor di Agam, Minta Hunian Sementara Rampung Sebulan
Prakiraan Cuaca Sumut Hari Ini, Kamis 18 Desember 2025: Sejumlah Wilayah Hujan Petir
360 Ton LPG Disalurkan ke Aceh, Pertamina Pastikan Kebutuhan Energi Tetap Terpenuhi
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru