Konsumsi garam yang berlebihan telah menjadi perhatian global, termasuk di Indonesia. Bersama dengan gula dan lemak, asupan garam yang tinggi menjadi faktor utama penyebab penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung, dan gangguan kardiovaskular lainnya.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat dari 25,8 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018. Fakta ini semakin memperkuat urgensi pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak melalui kebijakan yang lebih ketat.
Dalam pertemuan tersebut, Sukadiono menyoroti beberapa studi internasional yang dapat dijadikan referensi dalam pengendalian konsumsi garam di Indonesia. Salah satu contoh adalah studi di Finlandia yang menunjukkan bahwa pengurangan konsumsi garam hingga 30 persen mampu menekan angka kematian akibat stroke dan penyakit jantung hingga 75 persen dalam kurun waktu 30 tahun.
Selain itu, Sukadiono juga menyinggung kebijakan di Meksiko yang menerapkan pajak terhadap minuman manis. Kebijakan ini terbukti mampu mengurangi konsumsi minuman berpemanis hingga 7,5 persen dalam satu tahun pertama penerapannya, yang berdampak positif dalam menekan angka obesitas dan diabetes.