JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia mendorong agar Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memberikan penjelasan lebih rinci mengenai mekanisme pemberian hak kepada para pihak dalam proses peradilan pidana, termasuk tersangka, terdakwa, korban, penyandang disabilitas, perempuan, lansia, dan saksi.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI, Selasa (23/9), yang dipantau secara daring."Pasal 134 hingga 139 RUU KUHAP memang telah memuat berbagai hak. Namun, belum ada penjelasan terkait mekanisme realisasi hak-hak tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan di lapangan," ujar Najih.
Najih menekankan perlunya aturan yang menjelaskan kapan tepatnya hak tersebut mulai melekat pada individu — apakah sejak ditetapkan sebagai tersangka, sejak ditangkap, atau saat penahanan."Tanpa mekanisme yang tegas, pemberian hak-hak itu bisa tidak berjalan optimal. Ini penting agar aparat penegak hukum tidak menafsirkan secara semaunya," tegasnya.
Ombudsman juga menyoroti Pasal 60–63 RUU KUHAP, yang dinilai belum cukup mengatur kewajiban jaksa dalam menjamin perlindungan korban dan saksi.Najih menyebut, jaksa seharusnya berperan aktif dalam berkoordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) serta unit-unit perlindungan sejak tahap penuntutan.
"Tanpa pengaturan yang jelas, korban bisa menjadi korban ganda. Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip keadilan restoratif yang kini banyak digaungkan," tambahnya.