JAKARTA -Undang-Undang Administrasi Kependudukan kini menjadi sorotan setelah dua warga, Raymond Kamil dan Indra Syahputra, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengatur kolom ‘tidak beragama’ dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Permohonan ini disampaikan dalam upaya menuntut keadilan bagi mereka yang tidak menganut agama resmi yang diakui negara.
Permohonan tersebut terdaftar pada Selasa, 3 September 2024, dan sidang pendahuluan sudah digelar pada Senin, 21 Oktober 2024. Para pemohon menilai bahwa Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memaksa individu untuk memilih agama dari tujuh opsi yang tersedia, yang dalam pandangan mereka tidak mencerminkan keberagaman kepercayaan di masyarakat.
“Pada kenyataannya, mereka yang tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan ini terpaksa berbohong atau tidak dilayani,” ujar Teguh Sugiharto, kuasa hukum para pemohon, di ruang sidang MK. Kedua pemohon mengungkapkan pengalaman pribadi mereka yang menghadapi kesulitan akibat kebijakan ini, termasuk diskriminasi dari petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang menolak untuk mencantumkan kolom agama sebagai ‘tidak beragama’.
Raymond, yang dulunya mencantumkan Islam pada KTP-nya, kini mengklaim bahwa ia tidak lagi menganut agama atau kepercayaan tertentu, melainkan berfokus pada pemahaman ilmiah dan fenomena alam. Sementara itu, Indra juga mengaku tidak memeluk agama manapun meskipun masih tertera Islam di KTP-nya.
Dalam petitumnya, kedua pemohon meminta MK untuk mengubah sejumlah ketentuan dalam undang-undang terkait, termasuk Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Perkawinan, dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, agar mencakup pengakuan bagi mereka yang tidak beragama.
Kedua pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional, dan menginginkan agar setiap individu memiliki hak untuk memilih status agama atau kepercayaan yang sesuai dengan keyakinan mereka, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Mereka menginginkan kejelasan mengenai definisi ‘tidak beragama’ dalam konteks hukum, agar tidak ada lagi diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
Dalam sidang, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan pentingnya para pemohon untuk menyusun argumen yang kuat untuk meyakinkan sembilan hakim konstitusi mengenai keabsahan gugatan ini. Enny juga mengingatkan bahwa UUD 1945 mengedepankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tantangan bagi para pemohon adalah menjelaskan pertentangan norma yang mereka ajukan dengan prinsip tersebut.
Para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki argumen mereka sebelum MK memutuskan untuk melanjutkan proses. Batas waktu perbaikan permohonan adalah 4 November 2024.
Gugatan ini diharapkan dapat membuka dialog lebih lanjut mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, serta memperjuangkan hak-hak individu dalam menjalankan keyakinan mereka, termasuk bagi mereka yang memilih untuk tidak beragama. Dengan perubahan yang diharapkan, diharapkan dapat tercipta sistem administrasi kependudukan yang lebih inklusif dan mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia.
(N/014)
Mahkamah Konstitusi Dapat Gugatan Terkait Kolom ‘Tidak Beragama’ di KTP dan KK