JAKARTA– Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) angkat bicara soal tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana pada 2025.
Data internal menunjukkan, terdapat lebih dari 1 juta lulusan universitas yang belum memperoleh pekerjaan, atau sekitar 6,2% dari total 7,28 juta pengangguran di Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengakui bahwa kondisi ini menjadi potret nyata dan tantangan serius bagi pemerintah.
Ia menyebut, persoalan tersebut membutuhkan penanganan lintas sektor.
"Maksud saya, itu menjadi sebuah tantangan kita. Artinya, itu adalah potret saat ini. Kemudian kita punya tantangan ke depan sehingga semangat yang saya munculkan itu adalah semangat untuk kita berkolaborasi bersama mencari solusi," kata Yassierli kepada awak media di DPR RI, Jakarta, Senin (7/7/2025).
Saat diminta memberikan solusi konkret, Yassierli tidak memaparkan strategi teknis.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan penciptaan lapangan kerja.
"Solusi dari negara ini kita harus terus melakukan kolaborasi, dan itu yang akan kita bangun," ujarnya.
Berdasarkan data Kemnaker, selain 1,01 juta sarjana (D4, S1, S2, dan S3), sebanyak 177.399 lulusan diploma (D3) juga tercatat sebagai pengangguran.
Lulusan dari jenjang pendidikan menengah turut menyumbang angka signifikan, yaitu 2,42 juta penganggur dari SD dan SMP, 2,03 juta lulusan SMA, serta 1,63 juta lulusan SMK.
Sementara itu, angkatan kerja nasional pada 2025 mencapai 145,77 juta orang, dengan 7,28 juta di antaranya tidak memiliki pekerjaan.
Sebuah publikasi dari LPEM FEB UI volume 6 bertajuk "Angka Turun, Tapi Tekanan Belum Reda" turut menyoroti tren meningkatnya pengangguran sarjana dalam tiga tahun terakhir.
Jika pada Februari 2023 tingkat pengangguran lulusan D4–S3 berada di angka 9,43%, maka pada Februari 2025 melonjak ke 13,89%.
Meski angka pengangguran nasional menurun secara makro, laporan LPEM menyatakan bahwa tekanan masih kuat di sektor menengah, khususnya bagi lulusan SMA dan SMK.
Banyak pekerja terdorong masuk ke sektor informal atau gig economy yang tidak menjamin perlindungan kerja dan cenderung bersifat sementara.
"Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja secara kuantitatif, tetapi juga pada peningkatan kualitas, keberlanjutan, dan perlindungan kerja," tulis laporan tersebut.
Dalam konteks ini, para analis mendesak adanya reformasi di sektor ketenagakerjaan dan pendidikan tinggi, termasuk penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja serta peningkatan akses terhadap pelatihan berbasis keterampilan praktis.
Pemerintah diharapkan tidak hanya mengandalkan kolaborasi, tetapi juga merumuskan langkah konkret untuk menyelamatkan generasi produktif dari pengangguran berkepanjangan.*