JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tidak ada kebijakan baru yang secara khusus memungut pajak atas amplop uang dari acara hajatan atau kondangan, baik yang diterima secara langsung maupun melalui transfer digital.
Pernyataan ini disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, untuk meluruskan isu yang sempat berkembang di masyarakat.
Menurut Rosmauli, isu tersebut kemungkinan muncul akibat kesalahpahaman terhadap prinsip perpajakan yang berlaku.
"Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, setiap tambahan kemampuan ekonomis dapat menjadi objek pajak, termasuk hadiah atau pemberian uang," jelasnya, Kamis (24/7).
Namun demikian, Rosmauli menegaskan bahwa penerapan pajak tersebut tidak otomatis berlaku untuk semua kondisi.
Jika pemberian uang bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka pemberian tersebut tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP.
"Sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self-assessment, yaitu setiap wajib pajak melaporkan sendiri penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)," ujar Rosmauli.
Ia menambahkan, "DJP tidak melakukan pemungutan langsung di acara hajatan, dan tidak memiliki rencana untuk itu."
Isu terkait pajak dari amplop kondangan ini berawal dari pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, yang saat rapat dengar pendapat dengan Danantara dan Kementerian BUMN di DPR RI pada Rabu (23/7), membahas tantangan pendapatan negara yang harus ditambah melalui penerimaan pajak.
Ia menyinggung berbagai kelompok, termasuk influencer dan pekerja digital, yang kini mulai dikenakan pajak.
"Bahkan kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapatkan amplop di kondangan di hajatan juga akan dimintai pajak oleh pemerintah," ungkap Mufti Anam dalam rapat tersebut.
Menyikapi hal ini, DJP secara tegas menegaskan bahwa belum ada kebijakan pajak khusus untuk amplop kondangan seperti yang ramai diperbincangkan.*