JAKARTA -Dua mahasiswa asal Batam, Hidayattudin dari Universitas Putera Batam dan Respati Hadinata dari Universitas Negeri Batam, resmi menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan yang tercatat dengan nomor perkara 58/PUU-XXIII/2025, keduanya menilai pengesahan UU TNI tidak dilandasi kondisi genting yang memaksa, serta menuntut pertanggungjawaban materiil dari Presiden dan DPR RI.
Kuasa hukum pemohon menyampaikan bahwa tidak ada urgensi atau situasi luar biasa yang mengharuskan pemerintah dan DPR terburu-buru mengesahkan perubahan UU TNI tersebut.
Hal itu, menurut pemohon, bertentangan dengan prinsip kegentingan memaksa sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VIII/2009.
"Ketika UU TNI dilahirkan, tidak terdapat keadaan yang masuk kategori kegentingan yang memaksa, karena TNI masih dapat menjalankan tugas dan kewenangan sesuai UUD 1945 dan peraturan lainnya," ujar kuasa hukum saat sidang panel 3 di Gedung MK, Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Dua Petitum: Batalkan UU dan Bayar Ganti Rugi
Dalam petitum utama, pemohon meminta MK menyatakan UU Nomor 3 Tahun 2025 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mereka juga meminta agar ketentuan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 yang telah diubah diberlakukan kembali.
Namun yang mengejutkan, dalam petitum alternatifnya, pemohon meminta Mahkamah memerintahkan Presiden RI dan DPR RI untuk membayar ganti rugi kepada negara masing-masing sebesar Rp 25 miliar dan Rp 50 miliar, karena dinilai lalai dalam melaksanakan tugas konstitusional.
"Menghukum Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029 untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 25 miliar kepada negara, dan menghukum anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna pengesahan UU TNI membayar Rp 50 miliar," bunyi petitum pemohon.