BREAKING NEWS
Senin, 03 November 2025

Dalihan Na Tolu Dikhianati Korupsi Proyek Jalan: Sosiolog Desak Sidang Adat dan Pembubaran Perusahaan Terlibat

Tim Redaksi - Minggu, 29 Juni 2025 11:31 WIB
Dalihan Na Tolu Dikhianati Korupsi Proyek Jalan: Sosiolog Desak Sidang Adat dan Pembubaran Perusahaan Terlibat
Shohibul Anshor Siregar (foto: ist)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

MEDAN - Kasus korupsi proyek jalan di Sumut yang menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) serta anggota legislatif melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah merobek nilai luhur Dalihan Na Tolu, filosofi adat Batak.

Menanggapi pengkhianatan budaya ini, sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, mendesak agar para pelaku diadili dalam sidang adat dan menuntut pembubaran perusahaan yang terlibat.

"Ini adalah pengkhianatan budaya yang harus diselesaikan dengan kearifan lokal," tegas Shohibul Anshor Siregar.

Pengkhianatan Dalihan Na Tolu

Dalam konferensi pers pada 27 Juni 2025, Juru Bicara KPK mengungkapkan bahwa OTT di Sumut berhasil mengamankan pejabat Dinas PUPR dan anggota legislatif terkait dugaan suap dalam pengadaan proyek jalan.

"Modus yang digunakan melibatkan aliran dana untuk pengamanan paket pekerjaan dan manipulasi proses pengadaan," jelas sumber resmi KPK seperti dikutip Antara.

Sebagai bagian dari penyelidikan, KPK juga telah menyegel Kantor PT Dalihan Natolu Grup di Kota Padangsidimpuan, sebuah perusahaan kontraktor ternama yang mengerjakan proyek jalan di Tapanuli Selatan (Tapsel). Ironisnya, nama perusahaan tersebut justru mencatut filosofi adat yang kini dinodai oleh praktik korupsi.

Ironi di Tengah Kemajuan Budaya Batak

Etnis Batak dikenal sebagai salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang paling gigih mempertahankan tradisi budayanya. Mereka aktif berorganisasi dan bahkan mampu mengintegrasikan perikatan serta otoritas budaya ke ranah politik, ekonomi, dan diplomasi. Selain dikenal lebih "vokalis" dan "sastrawi" dengan produksi lagu-lagu mendunia, kini muncul ironi yang mengikis kemajuan tersebut.

Pertanyaan besar mencuat: Apakah organisasi-organisasi persemargaan berdasar Dalihan Na Tolu, yang bahkan mengklaim lingkup global, semakin permisif terhadap anomi budaya dan deviasi hukum?

Shohibul Anshor Siregar, Dosen Sosiologi FISIP UMSU, menyoroti dampak budaya yang ditimbulkan. "Fakta resmi KPK ini membuktikan bahwa nilai budaya Batak Dalihan Na Tolu dibajak menjadi alat kejahatan," paparnya.

Ia merinci pengkhianatan terhadap tiga pilar utama Dalihan Na Tolu. Pertama; pengkhianatan terhadap Masyarakat (Hula-hula/Mora). Seharusnya sebagai pemegang otoritas moral atau primus interpares, masyarakat justru dikorbankan.

Kedua, pengkhianatan terhadap pejabat (Boru/Anak Boru): Berubah fungsi dari pelayan menjadi pemeras. Dan ketiga, terhadap solidaritas (Manat Mardongan Tubu): kolusi antar-kroni mengubahnya menjadi kartel korupsi.

"Ini adalah buah dari anomie (kekosongan norma) akibat kapitalisme liar dan hegemoni korporasi," tandas Siregar, merujuk pada teori Durkheim dan Gramsci.

Tuntutan Pertanggungjawaban di Hadapan Rapat Adat

Siregar menegaskan, penanganan hukum semata tidak cukup untuk memulihkan kerusakan yang terjadi. "Pelaku wajib mempertanggungjawabkan dosa budaya pada sidang adat yang diselenggarakan secara khusus!" serunya.

Ia merinci tiga tuntutan utama. Pertama permintaan maaf publik. Para pelaku harus meminta maaf secara publik di hadapan majelis adat. Sidang adat ini akan memberikan kesempatan kepada hula-hula (pemuka adat/agama), boru (masyarakat), dan dongan tubu (sesama marga) untuk memusyawarahkan sanksi adat, disertai ritual pembersihan diri dan ganti rugi.

Sanksi adat ini, yang dapat berupa besaran paling tidak setara 10 kali nilai korupsi yang dituduhkan, akan dilaksanakan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Kedua, tuntutan pembubaran perusahaan terlibat. Siregar menuntut agar perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi ini dibubarkan. Pihak berwenang diminta untuk mencabut izin usaha dan menyita aset-asetnya, yang kemudian diserahkan kepada masyarakat. "Mereka adalah parhata sia (penipu ulung) yang harus dimusnahkan agar tidak menjadi virus abadi!" tegasnya.

Ketiga, integrasi sanksi adat dalam birokrasi. Diperlukan pembuatan sanksi yang disepakati untuk diintegrasikan dalam sistem birokrasi, termasuk mempertimbangkan pelarangan seumur hidup bagi pelaku korupsi.

Selain itu, sidang adat juga perlu merumuskan model pengawasan Dalihan Na Tolusebagai solusi preventif. Siregar mengusulkan model ini beranggotakan tiga komponen: mora (hula-hula), boru (anak boru), dan dongan tubu (kahanggi). "Mereka akan mengawasi proyek strategis sebagai bentuk dekolonisasi tata kelola," paparnya.

Siregar juga menyoroti bahwa sejak kemerdekaan, penggerusan nilai-nilai orisinalitas Indonesia, terutama agama dan budaya, terus dilakukan atas nama modernisasi. Namun, fakta kini menunjukkan kesesatan jalan tersebut.

Ia menekankan pentingnya membawa pulang Indonesia ke jati diri orisinalnya sebagai entitas bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi atau industrialisasi semata.

Peringatan: Jalan Menuju Neraka Budaya

Siregar menutup pernyataannya dengan peringatan keras: "Korupsi sistematis akan mengubah Dalihan Na Tolu menjadi dongan tua (teman usang). Proyek jalan ini adalah jalan tol menuju neraka budaya Batak. Revitalisasi kearifan lokal, adalah benteng terakhir penyelamatan peradaban," tegasnya.

Tuntutan sosiolog FISIP UMSU ini menegaskan bahwa pemulihan masyarakat yang terkontaminasi korupsi memerlukan pertanggungjawaban budaya di hadapan institusi adat. "Masyarakat beradab adalah yang berani menghukum pengkhianat budayanya sendiri," pungkas Siregar.*

Editor
: Abyadi Siregar
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru