Laporan itu disampaikan langsung oleh koordinator aliansi, Betran Sulani, pada Jumat, 14 November 2025.
"Kami melaporkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi berinisial AS, yang diduga memiliki atau menggunakan ijazah palsu," kata Betran kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Menurut Betran, gelar doktor bukan hanya syarat administratif, melainkan aspek fundamental bagi integritas seorang hakim MK.
Ia menilai, dugaan pemalsuan ijazah berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap lembaga konstitusi tersebut.
"Jika seorang hakim menggunakan ijazah palsu untuk mendapatkan jabatan, itu tindakan yang mencederai konstitusi. Alasan inilah yang mendorong kami untuk membuat laporan kepolisian," ujarnya.
Aliansi turut menyerahkan sejumlah bukti pemberitaan, termasuk informasi mengenai penyelidikan otoritas antikorupsi Polandia terhadap universitas tempat Arsul Sani memperoleh gelar doktor pada 2023.
"Bukti yang kami terima antara lain pemberitaan tentang penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi di Polandia terkait legalitas kampus tersebut," kata Betran.
Ia menyebut penyelidikan itu memperkuat dugaan adanya ketidakwajaran dalam proses akademik yang dijalani Arsul.
Dihubungi terpisah, Arsul Sani memilih tidak menanggapi lebih jauh tudingan tersebut.
Ia menyebut isu itu sudah dalam penanganan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
"Sebagai hakim saya terikat kode etik untuk tidak berpolemik. Soal ini juga ditangani MKMK," kata Arsul singkat.
Kasus ini menambah daftar polemik terkait kredibilitas pejabat publik yang terseret isu keabsahan gelar akademik.
Proses pemeriksaan oleh kepolisian dan MKMK kini dinantikan untuk memastikan kejelasan status ijazah tersebut.*