VATIKAN -Menjelang konklaf yang digelar pada Rabu (7/5), nama Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina semakin menguat sebagai salah satu kandidat kuat pengganti Paus Fransiskus.
Jika terpilih, Tagle akan mencetak sejarah sebagai Paus pertama dari Asia, sebuah tonggak besar dalam sejarah Gereja Katolik.
Kepemimpinan dan rekam jejak Tagle selama dua dekade dikenal sangat dekat dengan kaum miskin dan tertindas. Dukungan terhadapnya datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk umat Katolik global yang melihat dirinya sebagai figur yang bersahaja, rendah hati, dan mirip dengan gaya kepausan Fransiskus.
"Dia bukan santo, tapi air matanya dengan mudah jatuh untuk kaum miskin," kata Maria Minda Ortiz, warga Imus yang mengenangnya sebagai tokoh penuh empati.
Penolakan di Kampung Halaman dan Kekhawatiran Politik di Roma
Namun, di tengah dukungan luas tersebut, justru muncul suara penolakan dari sebagian warga Filipina sendiri. Salah satunya datang dari Suster Marilena Narvaez, mantan guru Tagle saat kecil.
"Saya takut dengan politik di Roma. Saya tidak berdoa agar dia jadi paus," kata Suster Narvaez (83) dalam wawancara dengan AFP.
Keluarga Tagle pun menolak diwawancarai, dan museum kecil yang didedikasikan untuknya di kota asalnya, Imus, ditutup. Penutupan ini diyakini dilakukan untuk menghormati imbauan uskup setempat agar tidak memicu kampanye pencalonan secara terbuka.
Tagle: Progresif, Religius, dan Pernah Mencuci Kaki Anak Kecil Cacat
Dikenal dengan panggilan 'Chito', Tagle merupakan figur gerejawi yang progresif. Ia menolak keras kebijakan perang terhadap narkoba di era Presiden Duterte, aktif menyuarakan keadilan sosial, dan berani mengkritik sesama uskup dalam kasus pelecehan seksual.
Kisah-kisah kecil dari masa lalu Tagle juga memperlihatkan kerendahan hatinya. Seperti saat ia mencuci kaki Anna Fernandez, anak berusia 8 tahun yang menderita polio, dalam tradisi Pekan Suci.