bitvonline.com-Demam tifoid, yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. Typhi), kini semakin sulit diobati akibat resistensi terhadap antibiotik yang berkembang pesat.
Penelitian terbaru yang diterbitkan pada 2022 mengungkapkan bahwa bakteri penyebab tifoid ini kini menunjukkan resistensi yang luas terhadap berbagai jenis antibiotik, termasuk obat-obat yang lebih modern.
Dalam studi yang mengurutkan genom dari lebih dari 3.400 strain S. Typhi yang terinfeksi di negara-negara Asia Selatan seperti Nepal, Bangladesh, Pakistan, dan India, para ilmuwan menemukan bahwa bakteri ini semakin resistan terhadap antibiotik lini pertama seperti ampisilin, kloramfenikol, dan trimetoprim/sulfametoksazol.
Selain itu, XDR Typhi (resisten obat secara ekstensif) kini juga menunjukkan resistensi terhadap antibiotik lebih kuat seperti fluoroquinolones dan sefalosporin generasi ketiga.
Peningkatan ini telah menyebabkan peningkatan kekhawatiran global karena strain XDR ini menyebar dengan sangat cepat ke berbagai negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Afrika Timur dan Selatan.
Peneliti utama, spesialis penyakit menular dari Stanford University, Jason Andrews, menyatakan bahwa kecepatan munculnya dan penyebaran strain S. Typhi yang sangat resistan merupakan ancaman nyata yang perlu segera ditanggulangi. "Kecepatan munculnya dan penyebaran strain S. Typhi yang sangat resistan dalam beberapa tahun terakhir merupakan penyebab nyata yang perlu dikhawatirkan, dan menyoroti perlunya segera memperluas langkah-langkah pencegahan, khususnya di negara-negara dengan risiko terbesar," ujarnya.
Resistensi terhadap antibiotik ini menjadi masalah besar mengingat bahwa antibiotik masih menjadi satu-satunya cara efektif untuk mengobati tifoid. Saat ini, hanya satu antibiotik oral yang tersisa untuk mengobati tifoid, yakni azitromisin.
Namun, para ilmuwan khawatir resistensi terhadap azitromisin mungkin juga akan berkembang dalam waktu dekat. Sebelumnya, strain XDR pertama kali ditemukan di Pakistan pada 2016 dan sejak 2019 menjadi genotipe dominan di negara tersebut.
Sementara itu, di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid mencapai 1,7%, dengan kelompok usia 5-14 tahun menjadi yang paling banyak terinfeksi.
Penurunan efektivitas antibiotik yang digunakan untuk mengobati tifoid dapat berpotensi meningkatkan angka kematian dan morbiditas terkait penyakit ini, yang menjadi perhatian serius bagi sektor kesehatan.*
(dc/J006)
Editor
: Justin Nova
Penyakit Tifus Makin Berbahaya, Antibiotik Tak Lagi Ampuh!