YOGYAKARTA — Masuk angin, istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia, selama ini dipahami sebagai gangguan kesehatan ringan yang bisa diatasi dengan kerokan atau minum jamu.
Namun, di balik persepsi umum tersebut, fenomena masuk angin sebenarnya bukan penyakit dalam istilah medis.
Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Antropologi Kesehatan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Prof. Atik Triratnawati.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Balai Senat UGM, Prof. Atik menyebut bahwa masuk angin merupakan fenomena yang berada di antara ranah medis dan budaya.
"Masuk angin bukan sekadar urusan medis, tapi juga bagian dari konstruksi budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa," jelas Atik.
Dalam kerangka pemikiran budaya Jawa, masuk angin diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu masuk angin biasa, masuk angin berat, dan masuk angin kasep atau yang kerap disebut "angin duduk."
Masuk angin biasa ditandai dengan gejala ringan seperti perut kembung, rasa panas, pegal-pegal, dan lelah.
Masuk angin berat sering disebabkan oleh kelelahan ekstrem akibat menunda makan, minum, dan istirahat, disertai gejala tambahan seperti muntah dan diare.
Masuk angin kasep terjadi ketika gejala dibiarkan terlalu lama tanpa penanganan.
Dampaknya bisa lebih serius, bahkan menyebabkan nyeri dada dan pingsan.
"Dalam kasus ekstrem, ketidaktahuan masyarakat terhadap gejala yang dianggap masuk angin bisa berujung pada kematian," terang Atik.
Fenomena masuk angin juga melahirkan berbagai metode pengobatan unik.