JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Yasonna Laoly, menanggapi keras pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Yasonna menilai pernyataan itu berpotensi menyesatkan sejarah dan menyakiti korban serta penyintas tragedi tersebut.
Yasonna mengutip pidato Presiden ke-3 RI BJ Habibie yang secara tegas mengakui adanya kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, saat kerusuhan melanda Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
"Apakah Habibie sebagai Presiden bohong? Perlu hati-hati jika mau menulis ulang sejarah," tegas Yasonna sambil membagikan video pidato kenegaraan Habibie, Senin (16/6/2025).
Dalam video yang dibagikan, Presiden Habibie menyebut bahwa "huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa."
Yasonna menilai, pihak-pihak yang hidup dan menyaksikan langsung kejadian tersebut masih mengingat jelas betapa tragisnya peristiwa yang terjadi 26 tahun lalu.
Ia mengingatkan bahwa penulisan sejarah bangsa harus dilakukan secara jujur dan terbuka berdasarkan fakta, bukan penyangkalan.
"Penulisan sejarah harus terbuka seluas-luasnya untuk melihat fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya," ujar politikus senior PDIP tersebut.
Komisioner Dahlia Madanih menyatakan bahwa pernyataan Menbud Fadli Zon menyakiti para penyintas yang telah memikul trauma selama puluhan tahun.
"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," tegasnya.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah mengonfirmasi adanya pelanggaran HAM dalam tragedi Mei 1998, termasuk 85 kasus kekerasan seksual, di mana 52 di antaranya adalah kasus perkosaan.