BREAKING NEWS
Minggu, 01 Juni 2025

Perang Dingin Trump di Kampus: Bagaimana Kebijakan Imigrasi Membentuk Ulang Pendidikan Tinggi AS

Redaksi - Jumat, 30 Mei 2025 11:32 WIB
228 view
Perang Dingin Trump di Kampus: Bagaimana Kebijakan Imigrasi Membentuk Ulang Pendidikan Tinggi AS
Shohibul Anshor Siregar
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh Shohibul Anshor Siregar

DI bawah pemerintahan Donald Trump, universitas-universitas Amerika, yang lama dikenal sebagai mercusuar keterbukaan global, mendapati diri mereka berada di garis depan perang budaya yang tidak biasa. Kebijakan imigrasi yang diperketat, diiringi retorika "America First," bukan hanya menghambat aliran mahasiswa internasional, tetapi juga memicu ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Gedung Putih dan kampus-kampus yang secara tradisional otonom.

Ini adalah kisah tentang bagaimana kebijakan di Washington meresap jauh ke dalam ruang-ruang kuliah, mengubah pengalaman mahasiswa asing dan bahkan mengancam kebebasan akademik.

Baca Juga:

Pintu yang Tiba-tiba Tertutup

Bagi ribuan mahasiswa internasional, mimpi belajar di AS berubah menjadi mimpi buruk yang mendadak. Aturan visa yang dulu dipahami tiba-tiba berubah, seringkali tanpa peringatan. Miriam Feldblum, Presiden dan CEO Presidents' Alliance on Higher Education and Immigration, mencatat perubahan drastis ini: "Semua ini bukan praktik biasa." Ini bukan sekadar pengetatan prosedur; ini adalah pergeseran fundamental.

Baca Juga:

Otoritas Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) mulai menghapus catatan mahasiswa asing secara "diam-diam," sebuah pendekatan yang berbeda dari kolaborasi sebelumnya dengan universitas. Akibatnya, mahasiswa mendapati visa mereka dicabut dan status hukum mereka dibatalkan tanpa pemberitahuan, memaksa mereka meninggalkan negara dengan mendadak. Michelle Mittelstadt dari Migration Policy Institute menggambarkan langkah ini sebagai sesuatu yang "benar-benar berlaku surut," menciptakan ketidakpastian yang meresahkan bagi mereka yang telah menginvestasikan masa depan mereka di tanah Amerika.

Data, meski sulit untuk dikumpulkan secara komprehensif, mulai menunjukkan dampaknya. Rekruter pendidikan di India, misalnya, telah mengamati penurunan minat di kalangan calon mahasiswa yang sebelumnya mengincar perguruan tinggi AS. "Ini memiliki efek mengerikan," kata Clay Harmon, direktur eksekutif AIRC. "Bahkan jika tidak ada konsekuensi langsung, semua ini secara kumulatif menghasilkan kesan bahwa AS tidak ramah, tidak terbuka, atau Anda mungkin berada dalam semacam bahaya jika datang ke AS."

Ancaman dan Pengaruh Gedung Putih

Namun, tekanan tidak berhenti pada visa. Pemerintahan Trump tidak segan-segan menggunakan kekuatan finansial sebagai alat kontrol, khususnya terhadap institusi yang dianggap tidak sejalan dengan agenda politiknya. Columbia University menjadi studi kasus paling mencolok. Ketika protes terkait konflik Israel-Hamas marak di kampusnya, Menteri Pendidikan Linda McMahon mengumumkan pembatalan hibah dan kontrak senilai $400 juta. Alasannya: kegagalan universitas dalam mengatasi antisemitisme.

"Universitas harus mematuhi semua undang-undang antidiskriminasi federal jika mereka ingin menerima dana federal," tegas McMahon. Ini adalah pernyataan yang jelas bahwa dana publik dapat digunakan untuk memaksakan kepatuhan. Bagi Brian Cohen dari Columbia/Barnard Hillel, ini adalah "panggilan bangun bagi administrasi Columbia."

Namun, banyak yang melihatnya sebagai intervensi yang melampaui batas. Robert Newton, seorang ilmuwan peneliti senior yang pensiun dari Columbia, menolak keluhan pemerintah sebagai "kebohongan total." Sementara itu, Donna Lieberman dari New York Civil Liberties Union menyebut tindakan ini sebagai upaya inkonstitusional "untuk memaksa perguruan tinggi dan universitas menyensor pidato dan advokasi mahasiswa yang tidak disetujui MAGA." Konflik ini tidak hanya tentang kebijakan, melainkan pertarungan ideologis tentang otonomi kampus dan kebebasan berekspresi.

Iklim Ketakutan dan Kebebasan yang Terancam

Editor
: Redaksi
Tags
beritaTerkait
Elon Musk Bantah Keras Laporan NYT Soal Penggunaan Narkoba: "Saya Tidak Pakai Narkoba, Mereka Bohong!"
Harvard Melawan Tekanan Trump: "Kami Bukan Alat Politik"
Wapres AS JD Vance: Konflik India-Pakistan Bukan Urusan Kami
Donald Trump Umumkan Rencana Hadiri Pemakaman Paus Fransiskus di Roma
Rupiah Menguat ke Rp 16.806 per Dolar AS, Dampak Pernyataan Trump Tekan Greenback
Wakil Ketua MUI Tidak Setuju Prabowo Evakuasi Warga Gaja ke Jakarta untuk Pengobatan
komentar
beritaTerbaru