BREAKING NEWS
Senin, 23 Juni 2025

Pengaruh Harga Minyak Akibat Perang Iran–Israel

T.Jamaluddin - Senin, 23 Juni 2025 09:57 WIB
175 view
Pengaruh Harga Minyak Akibat Perang Iran–Israel
M. Yamin, SE, M. Si Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Penulis : M. Yamin, SE, M. Si

Konflik terbuka antara Iran dan Israel yang meletus dalam beberapa pekan terakhir bukan hanya mengguncang kawasan Timur Tengah, tetapi juga menyeret dunia ke dalam pusaran ketidakpastian ekonomi global. Salah satu sektor yang paling cepat merespons adalah pasar energi, dengan lonjakan harga minyak mentah sebagai indikator utama.

Ketika roket dan drone beterbangan di langit Teluk Persia, pasar langsung bereaksi. Harga minyak mentah Brent menembus angka USD 100 per barel—angka yang terakhir terlihat selama gejolak geopolitik besar, seperti invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Kenaikan harga ini bukan semata respons emosional, tetapi sinyal konkret dari kekhawatiran terganggunya pasokan minyak dunia.

Jalur Minyak Dunia dalam Bahaya

Iran adalah salah satu produsen utama minyak global, dengan cadangan terbesar keempat di dunia dan produksi lebih dari 3 juta barel per hari. Namun yang lebih krusial, hampir seperlima dari pasokan minyak global melewati Selat Hormuz—selat sempit yang berada di bawah pengaruh langsung Iran. Setiap ketegangan militer di kawasan ini berpotensi menutup jalur tersebut, atau setidaknya menghambat lalu lintas kapal tanker, yang berdampak langsung pada pasokan global.

Ketakutan pasar bukan hanya soal penurunan pasokan, tetapi juga meningkatnya risiko asuransi, biaya logistik, dan potensi sabotase yang memperparah volatilitas harga. Semua itu menciptakan efek domino ke seluruh dunia.

Tekanan Global dan Indonesia

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa kini menghadapi tekanan inflasi baru akibat lonjakan harga energi. Upaya pemulihan ekonomi pascapandemi dan normalisasi suku bunga kembali diuji oleh ketegangan geopolitik.

Indonesia, sebagai negara net importir minyak, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kenaikan harga minyak akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), memaksa pemerintah menambah alokasi subsidi energi atau, dalam skenario ekstrem, menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pilihan ini tentu memiliki dampak politik dan sosial yang signifikan.

Di sisi lain, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi risiko tambahan. Kebutuhan impor BBM dalam mata uang asing menyebabkan tekanan ganda terhadap defisit transaksi berjalan. Efeknya bisa menjalar ke kenaikan harga barang konsumsi, biaya transportasi, hingga pengendalian inflasi nasional.

Butuh Respons Strategis

Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan kebijakan jangka menengah dan panjang yang lebih tegas dalam membangun ketahanan energi nasional. Percepatan transisi ke energi terbarukan tidak bisa lagi ditunda. Pemerintah perlu mendorong investasi sektor energi alternatif, mempercepat elektrifikasi transportasi, serta membangun cadangan energi strategis sebagai tameng terhadap volatilitas global.

Di sisi diplomatik, Indonesia—sebagai negara dengan posisi netral dan punya sejarah diplomasi aktif di Timur Tengah—juga bisa memainkan peran penting mendorong deeskalasi konflik melalui forum-forum multilateral seperti OKI dan PBB. Stabilitas geopolitik adalah kepentingan global, dan Indonesia memiliki legitimasi untuk terlibat lebih proaktif.

Perang Iran–Israel telah membuktikan bahwa harga minyak bukan semata-mata masalah pasar, tetapi bagian dari dinamika kekuasaan dan geopolitik global. Dampaknya nyata dan cepat terasa di dompet rakyat, neraca perdagangan, serta stabilitas fiskal negara. Ketergantungan pada energi fosil dari kawasan konflik adalah kerentanan struktural yang harus segera diatasi melalui kebijakan energi yang tangguh dan terukur.*

Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh

Editor
: Justin Nova
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru