BREAKING NEWS
Minggu, 03 Agustus 2025

Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi

Redaksi - Sabtu, 02 Agustus 2025 07:35 WIB
70 view
Pilkada Tak Langsung dan Politik Berbiaya Tinggi
Ilustrasi. (foto: Kolase by Canva/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Hasil survei menunjukkan, mayoritas masyarakat menolak pilkada tidak langsung, bahkan mereka yang tidak percaya kepada DPR sekalipun. Setelah dilakukan tabulasi silang, responden yang menaruh kepercayaan kepada DPR, sebanyak 58,3 persen tetap menolak kepala daerah dipilih oleh DPR. Hanya 37,3 persen yang menyetujui, dan sisanya 4,5 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Artinya, kepercayaan publik kepada DPR tidak sekaligus memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengubah bagaimana sistem demokrasi semestinya dijalankan.

Baca Juga:

Selanjutnya, kelompok yang tidak percaya pada DPR, justru sikapnya jauh lebih tegas, 77,9 persen menolak. Sikap ini mencerminkan pernyataan yang sangat tegas tentang siapa yang semestinya punya hak dan dianggap pantas memegang mandat pemilihan kepala daerah.

Hal serupa menunjukkan dalam hubungan publik dengan partai politik. Sikap publik yang paling menarik berangkat dari kelompok yang percaya pada parpol, 56,8 persen tetap menolak (tidak setuju) sistem pilkada tidak langsung. Apalagi yang tidak percaya parpol, 73,6 persen menentukan sikap tidak setuju.

Baca Juga:

Dengan demikian, satu hal penting yang tersirat dari sini adalah kepercayaan publik pada institusi tidak cukup untuk menggantikan hak memilih.

Makanya, penolakan terhadap pilkada yang awalnya dipilih langsung oleh rakyat, lalu akan diambil alih oleh DPR, adalah sikap yang bukan sekadar penolakan terhadap prosedural teknis pemilihan kepala daerah, tapi bentuk sikap perlawanan terhadap proses delegitimasi demokrasi.

Meminjam kalimat dari Seymour Martin Lipset (1959), bahwa legitimasi politik bergantung pada keyakinan bahwa institusi saat ini adalah "yang paling sesuai" (the most appropriate ones) untuk masyarakat.

Artinya, jika rakyat merasa dicabut haknya dalam menentukan siapa yang akan berkuasa, dan bagaimana mengontrol kekuasaan yang dijalankan, sebagaimana ditunjukkan dalam sikap penolakan di atas, maka sistem demokrasi perwakilan itu telah kehilangan kepercayaan yang sangat subtantif dari rakyat.

Lantas jika DPR dan partai politik sudah tidak dipercaya oleh rakyat, bagaimana mungkin mereka dipercaya memilih pemimpin untuk rakyat?

Oleh karena itu, memaksakan wacana ini, akan mengundang resistensi yang tinggi dari publik yang dapat mengancam stabilitas politik, sebab publik secara konsisten memberikan penolakan baik yang percaya maupun yang tidak percaya pada DPR dan partai politik.

Saya kira, esensinya bukan memilih antara pilkada langsung atau tidak langsung, melainkan membenahi akar persoalan politik biaya tinggi. Sebab, selama harga kekuasaan tetap mahal, sistem apa pun hanya akan melanggengkan politik transaksional, dari ibu pedagang sayur ke ruang-ruang tertutup tempat pedagang kursi kekuasaan.* (news.detik.com)

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru