BREAKING NEWS
Sabtu, 09 Agustus 2025

Berpikir Kritis dalam Islam

T.Jamaluddin - Sabtu, 09 Agustus 2025 08:18 WIB
Berpikir Kritis dalam Islam
DR. H. Aslam Nur MA Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh (foto: t.jamaluddin/bitv)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh : DR. H. Aslam Nur MA

Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir secara mendalam, logis, dan argumentatif. Setiap kesimpulan yang diambil harus didasarkan pada alasan yang kuat, baik berupa data, dalil, maupun argumentasi ilmiah. Dalam Islam, berpikir kritis merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual seorang mukmin.

Berpikir kritis sendiri terbagi ke dalam dua bentuk utama: berpikir logis dan berpikir kreatif. Keduanya menjadi modal penting dalam menggali, memahami, serta mengamalkan ajaran Islam secara lebih mendalam.

Namun, ironisnya, dalam praktik beragama, kita kadang menjauhi cara berpikir kritis. Tidak sedikit dari kita yang enggan mempertanyakan sumber suatu ibadah—seolah mempertanyakan berarti meragukan. Padahal, justru dengan berpikir kritis, kita bisa memastikan bahwa ibadah yang kita lakukan benar-benar memiliki dasar yang kuat.

Allah SWT dengan tegas mengingatkan kita dalam firman-Nya:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَا لْبَصَرَ وَا لْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَا نَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا

"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 36)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia diberi tanggung jawab atas penggunaan akal dan indra mereka. Maka, tidak sepantasnya kita mengikuti suatu amalan tanpa mengetahui asal-usul dan dalilnya.

Khazanah Intelektual Islam

Perlu kita pahami bahwa perangkat berpikir kritis dalam Islam telah tersedia dan berkembang sejak masa awal Islam. Dalam khazanah intelektual Islam, kita mengenal berbagai cabang ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu ushul fikih, nahwu, balaghah, sharaf, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi alat bantu agar umat Islam dapat memahami ajaran secara utuh dan bertanggung jawab.

Sebagai contoh, dalam ilmu ushul fikih, terdapat kaidah:

"Al-ashlu fi al-amri al-wujub illa an yadulla dalil 'ala ghairihi."

Artinya: "Asal dari setiap perintah adalah wajib, kecuali ada dalil yang menunjukkan hukum lain."

Begitu pula dalam hal ibadah, para ulama menetapkan kaidah:

"Al-ashlu fi al-'ibadah at-tahrim illa ma dalla ad-dalil 'ala mashru'iyyatihi."

Artinya: "Asal dari ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang mensyariatkannya."

Dari kaidah tersebut, kita memahami bahwa ibadah tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan tradisi atau warisan turun-temurun, tetapi harus berdasarkan dalil yang sahih.

Menghindari Taklid Buta

Sayangnya, sebagian dari kita masih cenderung mengabaikan proses berpikir kritis dalam beragama. Kita kerap mendasarkan ibadah pada apa yang diwariskan oleh nenek moyang kita tanpa mengevaluasi kebenarannya. Padahal, Allah juga telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang diturunkan Allah,' mereka menjawab: 'Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (ajaran) nenek moyang kami.' Apakah (mereka akan tetap mengikuti nenek moyang mereka) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)

Ayat ini dengan jelas mengkritik sikap taklid buta, yakni mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu atau dalil. Maka dari itu, sudah semestinya kita membangun cara berpikir yang kritis dan ilmiah dalam beragama.

Kemuhammadiyahan: Gerakan Islam Berbasis Dalil

Di sinilah pentingnya peran Muhammadiyah dalam membentuk karakter umat yang berpikir maju dan kritis. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih. Segala bentuk ibadah diteliti, ditimbang, dan dipastikan memiliki dasar dari dalil yang benar.

Muhammadiyah tidak serta-merta menerima tradisi yang berkembang, melainkan mengkaji ulang apakah suatu amalan memiliki dasar yang kuat dalam Islam. Ini adalah bagian dari komitmen Muhammadiyah untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang berlandaskan ilmu, bukan sekadar warisan budaya.

Melalui pendekatan ini, Muhammadiyah terus berupaya membangun masyarakat yang berkemajuan—masyarakat yang tidak hanya taat beribadah, tetapi juga paham mengapa mereka beribadah, serta dapat menjelaskan dasar dan tujuannya.

Berpikir kritis dalam beragama bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan bagian dari keimanan yang sehat. Dengan berpikir kritis, kita menjaga kemurnian ajaran Islam dan menjauhkan diri dari taklid buta.

Mari kita jadikan semangat ini sebagai bagian dari kehidupan beragama kita. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan para ulama terdahulu—mereka semua berpikir mendalam sebelum mengamalkan ajaran, dan selalu merujuk kepada dalil yang sahih.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita agar terus belajar, menelaah, dan mengamalkan ajaran-Nya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

penulis adalahRektor Universitas Muhammadiyah Aceh

Editor
: Justin Nova
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru