Petugas menata paket makanan bergizi gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Ilir Barat (IB) II Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (15/4/2025). (foto: Nova Wahyudi/Antara)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
PIDATO kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus bulan lalu menempatkan kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, dan subsidi energi sebagai prioritas utama. Dua program besar, Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai kurang lebih Rp 335 triliun dan Sekolah Rakyat sekitar Rp 25 triliun, dielu-elukan sebagai bukti komitmen negara pada rakyat.
Antusiasme itu wajar, tapi anggaran jumbo bukan jaminan. Ia bisa menjadi berkah, bisa pula menjadi beban fiskal yang menghantui. Seperti diingatkan Wekke (2024), pembangunan tak boleh berhenti di proyek politik jangka pendek, melainkan harus melahirkan sistem sosial yang berkelanjutan.Membiarkan APBN menanggung semua kebutuhan gizi dan pendidikan dengan anggaran super jumbo jelas berisiko. Di sisi lain, ada lebih dari 7 juta anak muda Indonesia masih menganggur (BPS, 2025).
Mestinya, energi muda ini bisa diarahkan ke ranah sociopreneur yang sedang berkembang di kalangan generasi Y dan Z. Henton et al. (1997) menyebutnya sebagai civic entrepreneur, pelaku usaha yang menggabungkan logika bisnis dengan tanggung jawab sosial.Dari sini lahir gagasan Civic Foodpreneur. UMKM kuliner tidak lagi berdiri sendiri sebagai unit bisnis semata, tetapi ikut menopang MBG lewat produk mereka, sementara sebagian laba dialirkan ke sekolah sekitar, khususnya di sekolah swasta dengan kategori terbelakang yang sejalan dengan tujuan dari Sekolah Rakyat.
Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial sebagai warga negara yang baik (good citizen). Thornton (2004) menyebut ini sebagai civic responsibility, yakni kesadaran warga negara untuk memikul urusan publik, bukan sekadar jadi penonton.