BREAKING NEWS
Minggu, 05 Oktober 2025

Indonesia, Surga para Koruptor?

Redaksi - Minggu, 05 Oktober 2025 07:33 WIB
Indonesia, Surga para Koruptor?
Ilustrasi. (foto: Muhammad Ramdan/Antara)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Jika hal tersebut terus terjadi, kepada siapa kita memberikan kepercayaan jabatan publik yang dikatakan banyak duitnya alias timbunan uang rakyat, baik berupa dana tabungan di perbankan, di kementerian, dana untuk perjalanan haji dan umrah, maupun dana untuk pendidikan dan seterusnya.

Bahkan, dana untuk kepentingan kesejahteraan sosial saja tidak luput untuk digarong. Sungguh mengerikan perilaku pejabat publik kita. Berbagai argumentasi sering tidak merasa apa yang dilakukan sebagai bentuk korupsi. Bahkan, mereka berupaya mencari beribu alasan agar tuduhan tindak pidana korupsi disangkal.

MODUS VIVENDI

Kita dapat menyaksikan betapa banyak praktik modus vivendi korupsi di negeri para koruptor berseliweran. Pertama, memberikan pemberian kepada pejabat. Modus yang disering dilakukan adalah memberikan dari orang lain yang berkepentingan, baik bawahan, pihak swasta, maupun sesama pimpinan, untuk meloloskan suatu aktivitas yang dapat menguntungkan secara pribadi atau kelompok.

Pemberian yang dilakukan sebenarnya bentuk sogokan yang sudah sangat sering dilakukan agar pekerjaannya dapat diloloskan atau mendapatkan pekerjaan tersebut. Sayangnya, hal semacam ini sering kali dianggap sebagai sedekah biasa sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada mereka yang akan memberikan pekerjaan dan telah memberikan pekerjaan.

Kedua, menawarkan jabatan dengan janji-janji. Praktik menawarkan jabatan melalui janji-janji manis dari atasan kepada mereka yang 'mencari dan gila jabatan' memang sudah jamak kita dengar. Mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan berupaya menawarkan 'janji manis' kepada para pencari jabatan dan penggila jabatan dengan sejumlah posisi.

Namun, untuk mendapatkan posisi yang diinginkan, seseorang harus rela merogoh sakunya untuk dikeluarkan dan diberikan pada para 'calo' jabatan yang memiliki kekuasaan. Mempergunakan 'tangan orang lain' sebagai perantara sudah jamak pula kita dengar sehingga sang pemberi janji manis jabatan seakan menjadi orang bersih, padahal otak dan hatinya busuk, penuh kerakusan.

Kita kerap kali mendengar di Republik ini terdapat para pejabat yang berjanji akan memberikan jabatan atau posisi tertentu kepada orang tertentu dengan memberikan sejumlah uang maupun properti atau bentuk-bentuk material lainnya. Sejumlah uang dan properti maupun material ini seakan menjadi syarat agar seseorang dapat meraih jabatannya dengan mudah, nyaris tanpa persaingan yang adil, setara antara semua warga negara. Banyak kasus semacam ini telah menghantarkan para pemberi janji dan penerima janji masuk penjara, tapi juga tidak mereda praktiknya.

Hal itu karena hukuman yang dikenakan kepada mereka semuanya tampaknya hanya formalitas belaka, akan penuh dengan remisi tiap tahun. Dengan demikian, jika seseorang mendapatkan hukuman tujuh tahun penjara nanti hanya dijalaninya sekitaran 3-4 tahun penjara. Oleh sebab itu, tidak pernah ada jera dan memberikan rasa takut kepada mereka yang di dalam hati dan otaknya memang sudah punya niat untuk melakukan praktik kotor semacam itu.

Ketiga, mengangkat sanak saudara, keluarga, dan kelompoknya sebagai kroninya. Praktik korupsi semacam ini telah lama disinyalir terjadi di Asia Tenggara dengan berbagai modelnya. Ada yang mempergunakan praktik mengangkat sanak saudaranya di pemerintahan, di jabatan-jabatan tertentu, dan menyediakan fasilitas untuk sanak saudaranya. Tentu saja dengan mudah dilakukan karena mereka semuanya menjadi bagian dari 'lingkaran orang dalam' yang berkuasa alias bagian dari oligarki kekuasaan. Para kroni yang berada di lingkungan sekitarnya tentu saja akan dengan mudah pula mendapatkan berbagai kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan apa yang diinginkan.

Praktik samacam itu telah terjadi di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia seperti dikatakan oleh Jefrey Winter, dalam Oligarki (1992 dan 2002) dan tampaknya terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan, praktik semacam ini semakin menggila dan vulgar sejak Indonesia mengalami perubahan politik dari Orde Lama menjadi Orde Baru dan Reformasi.

Para pejabat tidak pernah berhenti untuk mempraktikkan model korupsi dengan melibatkan keluarga, sanak saudara, dan kroni mereka. Para kroni yang mendapatkan pada akhirnya akan berupaya mempertahankan dan membela sang pemberi dengan berbagai argumen yang tidak masuk nalar sehat dan hati nurani sekalipun.

Keempat, melakukan penggelembungan harga atau mark-up barang dan jasa dari harga sebelumnya untuk mendapatkan untung sebanyak mungkin. Melakukan penggelembungan anggaran dan pembelian barang merupakan praktik korupsi yang sudah sangat jamak kita ketahui.

Nyaris tidak pernah hilang bahwa banyak dari mereka para koruptor melakukan pekerjaan ini dengan alasan sesuai dengan permintaan pihak kedua dan pihak ketiga sehingga sang aktor merasa tidak bersalah dengan hal yang dilakukan. Padahal yang harus membayar adalah negara atau institusi.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Sengketa PPP Memanas, Menkum Tegaskan Pemerintah Tak Campuri Urusan Internal Partai
Jokowi Temui Presiden Prabowo di Kertanegara, Pertemuan Berlangsung Hampir Dua Jam
Pemerintah Dituding Intervensi Kepengurusan PPP
Tak Terima Vonis 16 Tahun, Mantan Direktur Utama PT Asabri Adam Damiri Ajukan PK ke MA
Rumah Eks Direktur Keuangan Jiwasraya Laku Rp 2,7 Miliar di Lelang Kejagung
Try Hardiansyah Terpilih Aklamasi Pimpin DPD KNPI Tanjabtim, Pemuda Didorong Semakin Solid
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru