BREAKING NEWS
Rabu, 08 Oktober 2025

Majelis Adat Aceh: Antara Janji Helsinki, UUPA, dan Realitas Hukum Nasional

Redaksi - Selasa, 07 Oktober 2025 08:37 WIB
Majelis Adat Aceh: Antara Janji Helsinki, UUPA, dan Realitas Hukum Nasional
Dr (c) H. Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag.,MA., Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh : Dr (c) H. Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag.,MA.

PERDAMAIAN dan pengakuan adat
Kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005 bukan sekadar penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia merupakan kontrak moral dan politik yang menegaskan pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh, termasuk sistem nilai, budaya, dan hukum adat yang telah hidup berabad-abad. Melalui Memorandum of Understanding (MoU) itu, negara berkomitmen menata ulang relasi dengan Aceh dalam bingkai NKRI yang menghormati kedaulatan sosial-budaya masyarakatnya.

Salah satu amanat kunci MoU ialah pengaturan otonomi khusus yang komprehensif, yang kemudian diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di sinilah akar hukum bagi eksistensi lembaga adat Aceh, termasuk Majelis Adat Aceh (MAA), terbentuk secara formal.

Baca Juga:

Dari pengakuan ke pelaksanaan
UUPA menegaskan keberadaan MAA sebagai lembaga representatif dan koordinatif bagi seluruh struktur adat di Aceh — dari mukim hingga gampong. Melalui sejumlah qanun, terutama Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, MAA memperoleh mandat untuk melestarikan nilai-nilai adat, menyelesaikan sengketa sosial, serta memberikan pertimbangan budaya kepada pemerintah.

Namun, antara norma dan pelaksanaan terdapat jurang yang lebar. Sejumlah klausul substantif MoU tidak sepenuhnya teradopsi dalam UUPA, sementara pelaksanaan UUPA sendiri menghadapi hambatan politik dan kelembagaan. Akibatnya, MAA sering berada dalam posisi ambigu: diakui secara hukum, tetapi lemah dalam pelaksanaan.

Dalam perspektif hukum adat, ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pengakuan itu bersifat substansial atau sekadar simbolik?

Analisis: pengakuan tanpa pemberdayaan
Kedudukan MAA mencerminkan paradoks antara "pengakuan formal" dan "kemandirian substantif." Terdapat tiga persoalan utama yang perlu dikritisi.

Pertama, ketergantungan normatif terhadap qanun.
UUPA hanya memberi kerangka dasar, sementara kekuasaan detail MAA ditentukan oleh qanun daerah. Artinya, keberlanjutan MAA bergantung pada dinamika politik lokal. Jika qanun tidak diperkuat atau tidak konsisten, maka fungsi adat hanya akan bertahan di tataran simbolik—menjadi ornamen kebudayaan, bukan instrumen sosial yang hidup.

Kedua, instrumentalisasi politik terhadap lembaga adat.
Secara ideal, MAA berperan sebagai mediator antara nilai-nilai adat dan pemerintahan formal. Namun, dalam praktik, ia sering terseret dalam tarikan kepentingan elit politik lokal. Akibatnya, otonomi moral lembaga adat tereduksi menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Padahal, kekuatan sejati adat terletak pada kepercayaan publik, bukan pada kedekatan politik.

Ketiga, disharmoni sistem hukum.
MAA memegang peran strategis dalam penyelesaian sengketa adat. Tetapi koordinasi antara peradilan adat, Mahkamah Syar'iyah, dan sistem peradilan nasional belum terbangun secara utuh. Tumpang tindih yurisdiksi, lemahnya mekanisme eksekusi, serta ketiadaan jalur banding yang jelas menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, peradilan adat kerap dianggap "alternatif informal" ketimbang "sub-sistem hukum resmi" dalam tata hukum nasional.

Jalan keluar: reposisi kelembagaan
Penguatan MAA tidak dapat didekati dengan logika administratif semata. Ia memerlukan reposisi strategis dalam bingkai hukum, politik, dan sosial. Ada tiga langkah mendesak.

Pertama, harmonisasi hukum.
Diperlukan telaah bersama antara Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan Pemerintah Pusat untuk meninjau pasal-pasal UUPA yang belum sepenuhnya mencerminkan semangat MoU Helsinki. Harmonisasi ini bukan sekadar teknis legislasi, melainkan penegasan kembali nilai dasar perdamaian: keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Polda Aceh Gagalkan Peredaran 80,5 Kg Sabu, 1,3 Ton Ganja, dan 1 Kg Kokain dalam 3 Bulan Terakhir
HUT ke-39 Banjar Satrya: Merajut Kebersamaan dan Ngayah Tanpa Batas
Lomba Gebogan Buah Lokal di Pura Swagina Tegaskan Komitmen Bali Padukan Pelestarian Alam dan Budaya
Prakiraan Cuaca Aceh Hari Ini, Selasa 7 Oktober 2025: Beberapa Wilayah Hujan Ringan
Kapolda Aceh Temui Anggota Majelis Tuha Peut, Bahas Penguatan Perdamaian dan Stabilitas Keamanan
Penggugat Siap Damai, Asal Gibran Minta Maaf dan Mundur
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru