BREAKING NEWS
Rabu, 08 Oktober 2025

Majelis Adat Aceh: Antara Janji Helsinki, UUPA, dan Realitas Hukum Nasional

Redaksi - Selasa, 07 Oktober 2025 08:37 WIB
Majelis Adat Aceh: Antara Janji Helsinki, UUPA, dan Realitas Hukum Nasional
Dr (c) H. Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag.,MA., Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Kedua, kemandirian kelembagaan dan finansial.
MAA harus diberi jaminan otonomi kelembagaan melalui qanun yang kuat, termasuk sumber pembiayaan mandiri dan mekanisme rekrutmen yang transparan. Lembaga adat yang bergantung pada anggaran politis akan sulit bersikap independen. Penguatan kapasitas SDM dan dokumentasi hukum adat juga menjadi kebutuhan mendesak agar adat tidak sekadar diwariskan secara lisan, tetapi menjadi referensi hukum yang sahih.

Ketiga, sinergi sistem hukum.
Diperlukan protokol hukum antara MAA, Mahkamah Syar'iyah, dan pengadilan umum agar setiap keputusan adat memiliki pengakuan moral dan administratif yang jelas. Dengan demikian, peradilan adat bukan lagi pelengkap seremonial, tetapi pelaksana nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

Penutup: dari simbol ke substansi
Majelis Adat Aceh bukan sekadar lembaga budaya, melainkan refleksi dari peradaban hukum yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. UUPA dan MoU Helsinki telah memberi ruang pengakuan, tetapi pengakuan tanpa pemberdayaan sama artinya dengan penghormatan tanpa isi.

Apabila negara sungguh-sungguh ingin menepati janji Helsinki, maka penghormatan terhadap adat Aceh harus diwujudkan dalam bentuk kelembagaan yang kuat, mandiri, dan berdaulat secara moral.

Saya lahir dan besar di Aceh dilingkungan masyarakat Adat Aceh, berbahasa Aceh mengharap MAA seharusnya menjadi pilar etis yang menegakkan marwah hukum, menjaga nilai-nilai keislaman dan keacehan, serta menuntun pemerintahan menuju keadilan yang berakar pada budaya sendiri.
Bukan lembaga yang dibingkai oleh politik, tetapi institusi yang memuliakan manusia dan martabatnya.

Hanya dengan cara itu, perdamaian Aceh tidak berhenti sebagai dokumen, tetapi hidup sebagai nilai.*


*) Penulis adalahMahasiswa Program Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Polda Aceh Gagalkan Peredaran 80,5 Kg Sabu, 1,3 Ton Ganja, dan 1 Kg Kokain dalam 3 Bulan Terakhir
HUT ke-39 Banjar Satrya: Merajut Kebersamaan dan Ngayah Tanpa Batas
Lomba Gebogan Buah Lokal di Pura Swagina Tegaskan Komitmen Bali Padukan Pelestarian Alam dan Budaya
Prakiraan Cuaca Aceh Hari Ini, Selasa 7 Oktober 2025: Beberapa Wilayah Hujan Ringan
Kapolda Aceh Temui Anggota Majelis Tuha Peut, Bahas Penguatan Perdamaian dan Stabilitas Keamanan
Penggugat Siap Damai, Asal Gibran Minta Maaf dan Mundur
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru