BREAKING NEWS
Selasa, 14 Oktober 2025

Purbaya Yudhi Sadewa dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia

Abyadi Siregar - Jumat, 10 Oktober 2025 17:17 WIB
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

OLEH :Ruben Cornelius

Fenomena menarik sedang terjadi di awal masa pemerintahan baru menuju 2029. Nama Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru beberapa bulan menjabat, mendadak mencuri sorotan publik.

Dari kebijakan yang mengguncang pasar hingga gaya komunikasinya yang blak-blakan, Purbaya tampak menampilkan wajah teknokrat yang tak biasa yaitu keras pada angka, tapi santai di depan kamera.

Baca Juga:


Namun yang lebih menarik, kiprah Purbaya kini dipandang sebagai ujian bagi arah politik ekonomi nasional, bahwa apakah Indonesia benar-benar memasuki era "penyeimbangan baru" antara populisme politik dan rasionalitas teknokratis?


Sebab di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dikenal sebagai figur dengan orientasi populis-sosialis, dengan gagasan besar seperti makan bergizi gratis, subsidi pangan, dan penguatan kedaulatan ekonomi rakyat.


Kombinasi ini melahirkan satu pertanyaan strategis, bahwa apakah duet Prabowo–Purbaya adalah bentuk keseimbangan antara ideologi "kiri" dan "kanan" dalam tata ekonomi Indonesia modern?

Purbaya dengan Tekanan Fiskal merepresentasikan Ketegasan Gaya Baru


Purbaya muncul bukan sebagai birokrat konvensional, tetapi sebagai teknokrat yang berani menantang status quo. Ia menegur bank yang dianggap "malas menyalurkan kredit", menggeser triliunan dana negara dari rekening pasif, dan menuntut efisiensi dari lembaga pemerintah. Dalam istilah ekonomi politik, Purbaya sedang memainkan peran "disciplinarian technocrat", yaitu penjaga disiplin fiskal yang menganggap stabilitas makro sebagai moralitas publik.


Kebijakan efisiensi yang ia dorong kerap berujung kontroversi. Purbaya tahu, fiskal adalah panggung politik yang sebenarnya. Setiap pemangkasan, setiap transfer yang ditunda, selalu berarti gesekan antara pusat dan daerah, antara teknokrat dan politisi.
Hal itu terbukti ketika dalam pekan terakhir, belasan gubernur dari berbagai provinsi yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi kantornya di Jakarta. Aksi yang oleh media disebut "18 Gubernur Geruduk Menkeu" menjadi simbol ketegangan lama bahwa perebutan kontrol atas uang negara antara pusat dan daerah.


Para gubernur memprotes rencana pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026, yang mereka nilai akan menjerat fiskal daerah dan menghambat pembangunan.


Purbaya tak gentar. Dengan tenang, ia menegaskan bahwa "daerah harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas belanja publik sebelum menuntut tambahan anggaran."


Bahkan dengan seloroh khasnya, ia berkata takut "dipukul gubernur" karena kebijakan efisiensi ini, bahwa pernyataan ringan tapi sarat makna: bahwa negara kini memasuki era baru, di mana disiplin fiskal harus berdiri di atas politik daerah.

Di sinilah letak keunikan Purbaya. Ia berani menegaskan garis tegas antara efisiensi dan populisme fiskal bahwa sesuatu yang jarang dilakukan pejabat keuangan di tengah tekanan politik yang besar.

Ideologi Kanan dan Kiri adalah dialektika Indonesia yang Tak Pernah Usai

Dalam politik ekonomi Indonesia, "kiri" dan "kanan" tidak pernah hadir secara murni. "Kiri" berarti keberpihakan pada rakyat kecil, intervensi negara, dan perlindungan sosial. "Sementara kanan" berarti disiplin fiskal, keterbukaan pasar, dan efisiensi anggaran.
Selama satu dekade terakhir, Indonesia bergerak di antara dua poros itu yang mencari keseimbangan antara developmental state ala Asia Timur dan populisme sosial khas demokrasi elektoral.


Prabowo datang membawa semangat "kerakyatan" yang kuat, namun ia membutuhkan figur seperti Purbaya untuk menyeimbangkan ambisi besar itu dengan realitas fiskal. Sebaliknya, Purbaya memerlukan legitimasi politik dari Prabowo untuk melindungi kebijakan rasionalnya dari resistensi birokrasi dan kepentingan daerah.


Hubungan ini menyerupai dialektika klasik dalam ekonomi politik, yaitu antara moralitas redistributif dan disiplin teknokratis. Bila berjalan selaras, kombinasi ini bisa menjadi kekuatan.

Tapi bila keduanya berlawanan arah, maka hasilnya adalah tarik-ulur kebijakan yang melelahkan seperti yang terjadi di masa-masa reformasi fiskal sebelumnya.

Jejak Jokowi dan Luhut yang membayangi Purbaya

Namun, memahami Purbaya tidak cukup hanya dari hubungan dengan Prabowo.
Jejak panjangnya sebagai teknokrat mengarah ke masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat krisis ekonomi akibat COVID-19, Purbaya menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang adalah salah satu pilar yang menyelamatkan sistem keuangan nasional dari potensi krisis sistemik.


Di masa itu pula, ia dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh sentral dalam orkestrasi kebijakan ekonomi lintas sektor. Banyak pengamat meyakini bahwa kepercayaan Jokowi dan dukungan Luhut memainkan peran dalam mengantarkan Purbaya ke panggung kabinet baru.


Bahkan, tidak sedikit yang membaca kehadiran Purbaya sebagai "jembatan kesinambungan" antara dua rezim yaitu dari teknokrasi Jokowi ke populisme Prabowo. Sebuah transisi kekuasaan yang lembut atau mungkin, strategi politik yang cermat agar mesin ekonomi nasional tetap stabil di tengah perubahan politik besar.


Sehingga Purbaya bukan sekadar Menteri Keuangan. Ia adalah simbol dari kesinambungan bahwa ia representasi kepentingan teknokratik yang telah menstruktur kebijakan ekonomi sejak era Jokowi, kini bernegosiasi dengan populisme baru Prabowo.

Potret Politik Fiskal di Era Baru

Krisis kecil yang muncul dari "aksi 18 gubernur" sesungguhnya membuka perdebatan besar, bahwa siapa yang berdaulat atas uang negara?
Selama dua dekade terakhir, transfer ke daerah menjadi instrumen utama pemerataan fiskal dan simbol otonomi daerah. Namun, banyak studi menunjukkan belanja daerah kerap tak efisien, bahkan tidak produktif.


Purbaya membaca kenyataan itu dengan tajam, bahwa negara tidak bisa terus "menyiram uang" ke daerah tanpa perbaikan tata kelola. Ia tahu, membenahi struktur fiskal daerah sama pentingnya dengan menekan inflasi.
Tapi langkah ini tak lepas dari risiko politik.


Ketika teknokrasi menabrak kepentingan elektoral, perlawanan pasti muncul. Kepala daerah yang sebagian besar memiliki ambisi politik nasional tentu tak ingin dipotong sumber dayanya. Maka pertemuan panas di kantor Kementerian Keuangan itu bukan sekadar urusan APBN, melainkan pertarungan simbolik antara pusat dan daerah, antara efisiensi dan patronase politik.


Respons Purbaya yang dingin namun tegas menunjukkan satu hal: ia siap menanggung biaya politik dari kebijakan rasional. Dalam konteks pemerintahan Prabowo yang cenderung populis, keberanian semacam ini menjadi penting sekaligus berisiko.

Teknokrasi, Populisme, dan Risiko Friksi

Kombinasi Prabowo–Purbaya adalah eksperimen politik ekonomi yang menarik. Di satu sisi, Prabowo mengusung legitimasi moral dari basis rakyat yaitu ide besar yang menyentuh sisi emosional publik. Di sisi lain, Purbaya membawa disiplin teknokratik yang berbasis data, efisiensi, dan kehati-hatian fiskal. Namun sejarah Indonesia mengajarkan bahwa duet semacam ini jarang bertahan lama tanpa koordinasi yang kuat.
Dulu, kombinasi antara pemimpin politik karismatik dan teknokrat rasional sering berakhir dengan ketegangan, terutama ketika pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada tekanan populisme jangka pendek.


Purbaya akan terus diuji, bahwa apakah ia mampu atau tidak ia menjaga kredibilitas fiskal tanpa kehilangan sensitivitas sosial. Dan Prabowo pun diuji bahwa sejauh mana ia siap menahan dorongan populis demi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Prediksi Kepemimpinan Gaya "Koboi" Purbaya yang Menjadi Peluang dan Risiko bagi Politik Ekonomi Indonesia

Fenomena Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang dikenal dengan gaya "koboi", yang mengartikan berani, blak-blakan, dan kadang melanggar norma birokrasi mendorong pertanyaan strategis, bahwa apa arti gaya kepemimpinan semacam ini bagi ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang? Apakah ini membawa inovasi dan efisiensi, atau justru menimbulkan risiko politik dan fiskal?


Gaya kepemimpinan "koboi" atau maverick leadership dalam literatur manajemen dan kepemimpinan dipahami sebagai pendekatan di mana seorang pemimpin menekankan tindakan cepat, keputusan tegas, dan keberanian menantang status quo. Menurut teori kepemimpinan transformasional, pemimpin semacam ini mampu memotivasi bawahan melalui visi dan keberanian pribadi, sering kali menghasilkan perubahan signifikan dalam sistem yang stagnan.

Namun teori transactional leadership juga mengingatkan bahwa tanpa mekanisme kontrol dan koordinasi, keputusan impulsif bisa menimbulkan disfungsi organisasi.


Dalam konteks Purbaya, gaya ini terlihat jelas saat ia menegur bank "malas" menyalurkan kredit, memindahkan triliunan dana negara, dan menolak permintaan transfer daerah sebelum kualitas belanja publik diperbaiki.

Tindakan ini menunjukkan ciri pemimpin high-risk, high-reward yaitu keputusan cepat dan tegas yang bisa menghasilkan efisiensi besar, tapi juga memicu resistensi politik.

Jika dibandingkan secara internasional, beberapa kasus serupa memberi pelajaran menarik. Seperti John Connally, Menteri Keuangan AS era Nixon, dikenal dengan gaya agresif dan blak-blakan, mendorong reformasi fiskal dan devaluasi dolar pada 1971, yang menyeimbangkan neraca ekonomi AS tetapi menimbulkan kontroversi politik.

Di Asia, Lee Kuan Yew di Singapura menunjukkan kombinasi otoriter dan pragmatis, bahwa ia berani mengambil keputusan drastis demi efisiensi birokrasi dan pembangunan, yang berbuah hasil ekonomi luar biasa. Di India, kebijakan "Shock Therapy" Manmohan Singh di era reformasi 1991—meski bukan koboi personal, menunjukkan bahwa keputusan teknokrat tegas di tengah krisis dapat memecahkan kebuntuan ekonomi, tapi selalu berisiko memicu friksi politik.


Dalam konteks Indonesia, implikasi gaya kepemimpinan koboi Purbaya bersifat ambivalen. Di satu sisi, keputusan tegas seperti menertibkan transfer ke daerah atau memaksa bank menyalurkan kredit dapat memperkuat disiplin fiskal, mengurangi kebocoran anggaran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Gaya ini juga memberikan sinyal kuat kepada pasar bahwa pemerintah serius dalam menjaga stabilitas dan kredibilitas anggaran negara, bahwa ini hal yang penting untuk menarik investasi domestik dan asing.Namun risiko politik tetap tinggi. Indonesia adalah negara demokratis dengan desentralisasi fiskal yang kuat. Setiap kebijakan yang dipersepsikan menekan daerah atau kelompok kepentingan tertentu dapat memicu konflik politik, demonstrasi, atau bahkan ketidakpatuhan birokrasi.

Jika gaya koboi Purbaya tidak diimbangi koordinasi politik yang cermat, kebijakan yang tampak efisien secara teknokratis bisa merusak legitimasi pemerintah dan menghambat implementasi.


Risiko psikologis dan kepemimpinan jangka panjang juga perlu diperhatikan. Pemimpin koboi yang terlalu dominan bisa menurunkan kapasitas lembaga untuk membangun prosedur permanen, karena bawahan mungkin menunggu arahan ad-hoc. Efek ini terlihat di beberapa negara di mana reformasi ekonomi impulsif jangka pendek berhasil, tapi institusi jangka panjang menjadi lemah.


Berdasarkan penelitian tentang kepemimpinan maverick di sektor publik, kesuksesan bergantung pada tiga faktor, antara lain;

(1) kredibilitas teknokratik pemimpin

(2) dukungan politik dari elite, dan

(3) mekanisme kontrol internal agar keputusan drastis tidak menimbulkan disfungsi.

Purbaya, dengan rekam jejak di era Jokowi dan kedekatan dengan Luhut, memiliki dua faktor pertama. Faktor ketiga yaitu kontrol internal dan koordinasi lintas kementerian serta daerah akan menjadi kunci untuk menentukan apakah gaya koboi ini akan menghasilkan harmoni atau friksi.


Secara prediktif, jika Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara keberanian tindakan dan koordinasi institusional, gaya koboi bisa menjadi driver reformasi fiskal dan efisiensi ekonomi. Ia bisa menjadi katalisator yang mendorong modernisasi birokrasi dan tata kelola publik. Namun jika ketegangan dengan elite politik dan kepala daerah meningkat, risiko tarik-ulur kebijakan bisa menimbulkan ketidakpastian pasar, stagnasi fiskal, atau konflik sosial.


Sehingga gaya kepemimpinan Purbaya adalah pedang bermata dua, bahwa ia berpotensi inovasi dan efisiensi besar, tetapi risiko politik dan implementasi tetap nyata.

Sejarah global menunjukkan bahwa pemimpin maverick yang sukses adalah mereka yang mampu memadukan keberanian dengan strategi institusional, bukan sekadar bertindak solo. Indonesia kini sedang diuji, bahwa apakah gaya koboi Purbaya akan menjadi contoh reformasi fiskal yang kuat, atau ujian ketegangan politik yang panjang.

Harmoni yang Rawan Retak

Indonesia kini berdiri di persimpangan antara kesinambungan dan perubahan.
Purbaya adalah simbol teknokrasi yang dibentuk oleh Jokowi dan Luhut, tetapi kini harus bekerja di bawah visi politik Prabowo.


Hubungan mereka, sejauh ini, masih produktif namun di baliknya tersimpan potensi friksi yang besar. Apakah duet kanan–kiri ini akan menjadi harmoni baru bagi politik ekonomi Indonesia, atau justru membuka tekanan laten antara populisme dan teknokrasi? Waktu yang akan menjawab. Untuk saat ini, publik hanya bisa mengamati seorang presiden yang berpikir besar tentang rakyat, seorang menteri yang berpikir tajam tentang angka, dan dua bayangan lama Jokowi dan Luhut yang masih memantau dari kejauhan.


Tiga generasi kekuasaan, satu panggung ekonomi nasional.
Dan mungkin, justru dari tarik-ulur itulah lahir resep keseimbangan baru politik-ekonomi Indonesia pasca-2029.*

*) Penulis adalah seorangakademisi dan peneliti multidisiplin yang aktif menulis opini kritis, menghasilkan riset ilmiah global, dan mendorong reformasi sosial, demokrasi, serta keberlanjutan melalui kontribusi di bidang sains, teknologi, lingkungan, dan kebijakan publik.

Editor
: Mutiara
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Tito Sentil Kepala Daerah Soal Pemangkasan Dana Transfer: Faktanya Banyak Pemborosan, Akhirnya Kena OTT
Isi Rapat  DPR dan Menteri Terungkap! Bahas Politik, Ekonomi, dan Keamanan Nasional!
Samsung Siap Edarkan Galaxy XCover7 Pro dan Tab Active5 Pro Tahan Banting di Indonesia
Menkeu Purbaya Jelaskan Pemangkasan Dana TKD: Banyak Penyelewengan, Tapi Alokasi Daerah Tetap Naik
Kepala Daerah Protes Pemotongan Anggaran Transfer, Menkeu Purbaya: Ini Alasannya
Industri Manufaktur RI Melambat, Menperin Andalkan Reformasi TKDN
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru