BREAKING NEWS
Senin, 20 Oktober 2025

Istihsan: Urgensi dan Penerapannya di Era Kontemporer

Redaksi - Senin, 20 Oktober 2025 09:06 WIB
Istihsan: Urgensi dan Penerapannya di Era Kontemporer
Ustazd Said Heriadi, Pegiat Da'wah Aceh Selatan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Aceh Selatan, serta Pegawai Kemenag Aceh Selatan. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Ustazd Said Heriadi.

ISTIHSAN (menganggap baik/memandang baik) adalah salah satu metode penetapan Hukum Islam (dalil taba'i atau dalil sekunder) yang banyak digunakan oleh mazhab Hanafi dan Maliki. Metode ini secara ringkas didefinisikan sebagai upaya meninggalkan tuntutan dalil yang kuat (misalnya Qiyas Jali) menuju tuntutan dalil yang lebih tersembunyi (Qiyas Khafi atau Qiyas Istihsani), atau meninggalkan Hukum Umum (kaidah umum) demi pengecualian karena adanya dalil yang lebih kuat dan spesifik (seperti nash, ijma', atau dharurah).

Urgensi ISTIHSAN dalam Bidang Kontemporer
Urgensi ISTIHSAN saat ini sangat tinggi, terutama dalam merespons perkembangan kehidupan modern yang kompleks. Peran ISTIHSAN tampak jelas dalam bidang-bidang berikut:

Baca Juga:

Fikih Muamalah dan Ekonomi Syariah
ISTIHSAN sangat penting untuk mengembangkan produk dan transaksi keuangan yang baru. Kaidah umum dalam muamalah adalah keharusan menghindari ketidakjelasan (gharar) dan Riba. Namun, seringkali ada kebutuhan praktis yang mendesak (dharurah atau hajat), yang menuntut pengecualian. Penerapan beberapa jenis akad dalam perbankan Syariah yang awalnya mungkin dianggap menyimpang dari Qiyas ketat, namun disahkan melalui ISTIHSAN karena pertimbangan kemaslahatan umum dan menghindari kesulitan (masyaqqah).

Contoh Modern ISTIHSAN:
Skema Murabahah Berantai (Commodity Murabahah)
Salahsatu aplikasi paling umum dari ISTIHSAN (atau Maslahah Mursalah dalam konteks yang serupa) dalam keuangan modern adalah penggunaan skema Murabahah Berantai (Commodity Murabahah atau Tawarruq Munazzam) untuk menyediakan pembiayaan tunai atau likuiditas.

Latar Belakang Masalah (Kebutuhan Praktis)
1. Kebutuhan Likuiditas: Bank Syariah seringkali perlu menyediakan pembiayaan berupa Uang Tunai kepada nasabah (baik individu maupun korporasi) atau menyediakan instrumen untuk Pasar Uang antar Bank Syariah (Interbank Money Market).
2. Batasan Qiyas Ketat: Menurut kaidah Qiyas yang ketat, Bank tidak boleh meminjamkan Uang dan mendapatkan keuntungan (karena itu adalah Riba). Bank juga tidak disarankan menjual komoditas yang bukan kebutuhan riil nasabah (seperti jual beli komoditas hanya untuk mendapatkan uang tunai), karena dikhawatirkan menyerupai Riba atau Bay' al-'Inah (jual beli fiktif).

Penerapan ISTIHSAN (Solusi Syariah)
Untuk memenuhi kebutuhan mendesak (dharurah atau hajat) akan likuiditas sambil menghindari Riba dan Gharar, banyak lembaga keuangan Syariah menggunakan skema Murabahah yang dimodifikasi (Tawarruq Munazzam), yang disahkan berdasarkan ISTIHSAN atau pertimbangan Kemaslahatan Umum (Maslahah Ammah).

Mekanisme Skema (Penerapan ISTIHSAN)
1. Langkah 1: Pembiayaan (Murabahah) Nasabah (membutuhkan uang tunai) mengajukan pembiayaan kepada Bank.
Bank (sebagai penjual) membeli komoditas riil (misalnya, minyak sawit, logam mulia) dari pihak ketiga dipasar komoditas. Bank menjual komoditas tersebut kepada Nasabah dengan harga tunda (harga beli + margin keuntungan bank).
2. Langkah 2: Mendapatkan Uang Tunai (Wakalah) Segera setelah akad jual beli selesai, Nasabah (pemilik komoditas) memberikan kuasa (wakalah) kepada Bank untuk menjual kembali komoditas tersebut kepihak keempat dipasar komoditas.
Uang hasil penjualan tersebut diserahkan kepada Nasabah, yang secara efektif menjadi uang tunai yang dicari Nasabah.

Mengapa Ini Disahkan melalui ISTIHSAN?
• Menghindari Kesulitan (Masyaqqah): Jika skema ini dilarang mutlak, Bank Syariah akan sulit bersaing dalam pasar keuangan yang sangat membutuhkan likuiditas tunai, sehingga menimbulkan kesulitan besar bagi ekosistem Ekonomi Syariah secara keseluruhan.
• Kemaslahatan Umum (Maslahah Ammah): Membolehkan skema ini memungkinkan Bank Syariah berfungsi penuh, menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan masyarakat, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan prinsip non-riba.
• Pengecualian dari Qiyas: Walaupun Qiyas ketat mungkin menganggap transaksi komoditas hanya sebagai "alat" untuk mendapatkan uang tunai (yang menyerupai Riba), ISTIHSAN memandang adanya kepemilikan riil komoditas dalam setiap langkahnya, sehingga dasar transaksi sah secara Syariah dan memenuhi kebutuhan yang mendesak.

Dengan demikian, ISTIHSAN berfungsi sebagai perangkat hukum yang fleksibel untuk menjaga agar prinsip Syariah tetap dapat diterapkan secara efektif dan relevan dalam kompleksitas sistem keuangan modern.

Fikih Kedokteran dan Isu Kesehatan
Dalam bidang ini, sering muncul kasus-kasus baru yang tidak ada nash spesifiknya, dan penerapan Qiyas ketat bisa menimbulkan kerugian. Penggunaan teknologi medis baru (seperti bayi tabung, transplantasi organ) yang harus diatur hukumnya. Meskipun Qiyas bisa mengarah pada pelarangan karena 'perubahan Ciptaan Allah,' ISTIHSAN memungkinkan penetapan hukum berdasarkan dalil dharurah (kebutuhan mendesak) atau kaidah menghilangkan bahaya (dar'u al-mafasid).

Transplantasi organ (pencangkokan organ dari satu individu keindividu lain) adalah contoh utama dimana ISTIHSAN (atau kaidah dar'u al-mafāsid wa jalbu al-maṣāliḥ – menolak kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan) digunakan untuk mengizinkan sebuah prosedur yang, jika dilihat dari Qiyas ketat, bisa dianggap terlarang.
Konflik Hukum Awal (Pandangan Qiyas Ketat)
1. Isu Kehormatan Tubuh: Berdasarkan Qiyas ketat, tubuh manusia dianggap sakral dan tidak boleh dirusak atau diperlakukan seenaknya (termasuk memotong atau mengambil bagiannya), baik saat hidup maupun setelah mati.
2. Isu Kepemilikan: Tubuh bukan barang yang bisa diperjualbelikan atau dihadiahkan.

Jika hukum didasarkan hanya pada Qiyas ini, transplantasi organ akan dilarang mutlak, yang berarti menghukum pasien yang sakit parah (gagal ginjal, gagal jantung, dll.) dengan kematian yang tidak terhindarkan.

Penerapan ISTIHSAN (Solusi Berdasarkan Kebutuhan Mendesak)
ISTIHSAN (yang didasarkan pada dalil Dharurah—kebutuhan yang sangat mendesak) memungkinkan penetapan hukum yang melonggarkan pelarangan awal karena adanya tujuan yang lebih tinggi, yaitu menyelamatkan nyawa (hifz an-nafs).

Ketika dihadapkan pada kasus transplantasi organ, Fikih Islam harus membuat keputusan yang berani dan adaptif, mengatasi larangan awal demi tujuan yang lebih mulia: menyelamatkan nyawa. Proses pembolehan ini didasarkan pada tiga prinsip Syari'ah fundamental yang bekerja secara sinergis:

Pertama, adanya Kebutuhan Mendesak Tubuh Hidup (Dharūrah Tubūh Ḥayāt) dari pihak penerima organ. Bagi pasien yang mengalami gagal organ, kondisinya adalah kebutuhan mendesak (dharūrah) yang secara langsung mengancam nyawanya. Dalam keadaan kritis ini, Hukum Islam menyediakan kaidah pengecualian: Al-Dharūrāt tubīḥu al-Maḥẓūrāt (Kebutuhan mendesak membolehkan hal-hal yang dilarang). Dengan kata lain, demi menjaga salah satu tujuan utama syariat (hifẓ an-nafs—menjaga jiwa), prosedur yang awalnya dilarang (seperti merusak keutuhan tubuh) diizinkan sementara.

Kedua, keputusan ini didukung oleh Kaidah Menolak Kerusakan (Dar'u al-Mafāsid). Dalam penetapan hukum, Syariat selalu memprioritaskan penolakan bahaya besar diatas kepentingan yang lebih kecil. Dalam kasus transplantasi, prioritas tertinggi adalah menghilangkan bahaya besar—yaitu kematian pasien penerima—daripada mempertahankan larangan yang relatif lebih ringan, seperti mempertahankan keutuhan tubuh donor yang sudah dipastikan meninggal.

Terakhir, pembolehan ini sejalan dengan prinsip Kemaslahatan Umum (Maṣlaḥah Mursalah). Mengizinkan transplantasi secara umum akan mendatangkan kemaslahatan yang luas bagi seluruh masyarakat. Prosedur ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup individu yang sakit parah, tetapi juga secara kolektif mensejahterakan kesehatan publik. Keputusan ini memperkuat peran medis sebagai sarana untuk mencapai kebaikan umum. Dengan mengedepankan ketiga prinsip ini, fikih kedokteran berhasil menemukan jalan tengah yang etis dan syar'i, memandang transplantasi bukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai upaya heroik untuk menjaga kehidupan.

Syarat yang Ditegakkan
Melalui ISTIHSAN, transplantasi organ diizinkan, tetapi dengan syarat ketat untuk menghilangkan potensi kerusakan lain (mafsadah), antara lain:

1. Tidak Boleh Diperjualbelikan: Organ harus diberikan secara sukarela, bukan dibeli, untuk menjaga kehormatan tubuh manusia.
2. Kepastian Kematian Donor (Donor Mati): Jika organ diambil dari donor yang meninggal, kematiannya harus dipastikan secara medis (mati otak) dan pengambilan organ tidak boleh menjadi penyebab kematiannya.

Dengan demikian, ISTIHSAN berfungsi sebagai perangkat yang menjembatani prinsip agama (kehormatan tubuh) dengan realitas medis modern (kemampuan menyelamatkan nyawa), demi tercapainya kemaslahatan umat.

Kapasitas Pelaku ISTIHSAN
Karena ISTIHSAN adalah alat yang kuat untuk "menyimpang" dari kaidah umum (bukan penyimpangan dari nash Al-Qur'an dan Sunnah), maka orang yang melakukannya harus memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat tinggi. Mereka yang mempunyai kapasitas melakukan ISTIHSAN adalah Mujtahid Mutlak atau setidaknya Mujtahid Muqayyad yang diakui. Beberapa syarat mendasarnya meliputi:

Ilmu Ushul Fikih Mendalam: Memahami secara komprehensif seluruh kaidah Ushul Fikih, sehingga mampu membedakan mana Qiyas yang lebih kuat (Jali) dan mana Qiyas yang lebih tersembunyi (Khafi/Istihsani).

Penguasaan Dalil Nash: Menguasai Al-Qur'an dan Sunnah (termasuk asbab al-nuzul dan asbab al-wurud) serta pandangan ulama terdahulu (Aqwal al-Salaf) untuk memastikan ISTIHSAN tidak bertentangan dengan dalil utama.

Kapasitas Ijtihad: Memiliki kemampuan analisis dan sintesis hukum yang matang (malakah al-ijtihad), serta pemahaman yang mendalam terhadap tujuan syariat (Maqashid al-Syari'ah).

Pemahaman Realitas (Fiqh al-Waqi'): Memiliki pengetahuan tentang konteks masyarakat, budaya, dan tantangan kontemporer ('Urf), sehingga ISTIHSAN yang dilakukan benar-benar membawa kemaslahatan, bukan sekadar pembenaran hawa nafsu.
ISTIHSAN adalah tugas para ulama mujtahid, bukan milik awam atau orang yang baru mempelajari fikih.

ISTIHSAN dan Jembatan Kearifan Lokal ('Urf) dalam Fikih
Hukum Islam, khususnya dalam ranah Fikih Muamalah (transaksi dan interaksi sosial), tidak pernah beroperasi dalam ruang hampa. Ia adalah sistem yang hidup, yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan keunikan budaya masyarakat. Disinilah letak peran vital dari Konsep ISTIHSAN—sebuah metode penetapan hukum yang mencari kebaikan (preferensi)—dan hubungannya yang erat dengan Kearifan Lokal, atau yang dalam ilmu fikih dikenal sebagai 'Urf.

Kearifan lokal, atau 'Urf, bukanlah sekadar tradisi usang; ia adalah harta karun berupa kebiasaan yang telah dikenal, diterima, dan disepakati oleh suatu komunitas, baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan sehari-hari.

Dalam hierarki sumber hukum Islam, 'Urf dapat menjadi dalil kuat—sebuah pijakan yang memadai bagi seorang mujtahid (ahli hukum Islam) untuk menerapkan ISTIHSAN. Ini adalah momen penting dimana seorang ulama memutuskan untuk beralih dari satu hukum kehukum lain yang lebih adaptif.

Istihsan: Mengutamakan Kebiasaan yang Baik
Pada dasarnya, ISTIHSAN seringkali muncul sebagai pengecualian terhadap Qiyas (analogi) yang terlalu kaku. Bayangkan sebuah praktik yang, jika dianalisis menggunakan Qiyas ketat, mungkin terlihat bermasalah atau dilarang. Namun, praktik tersebut telah menjadi kebiasaan yang baik dalam masyarakat ('Urf Shahih) dan yang terpenting, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Nash (Al-Qur'an dan Sunah).

Dalam situasi inilah, seorang mujtahid akan menggunakan ISTIHSAN berbasis 'Urf untuk membolehkan praktik tersebut. Filosofinya sederhana: apa yang dipandang baik dan mendatangkan kemaslahatan oleh masyarakat secara umum, asalkan tidak melanggar syariat, layak untuk dipertahankan dan dilegitimasi. Kaidah fikih yang terkenal merangkum prinsip ini:
"Al-'Ādatu Muḥakkamah" ("Adat kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai hukum/keputusan.")

Penerapan ISTIHSAN berbasis 'Urf menjamin bahwa Syariat dapat berinteraksi secara harmonis dengan masyarakat:
Jual Beli: Di banyak daerah, terdapat praktik jual beli tanpa ijab-qabul lisan yang formal (disebut Mu'āṭah), seperti mengambil barang di warung dan meletakkan uang. Secara Qiyas ketat, akadnya mungkin kurang lengkap, tetapi ISTIHSAN membolehkannya karena ini adalah 'Urf yang memudahkan transaksi dan sudah dipahami kedua belah pihak.

Penggunaan Istilah: Arti sebuah kata atau istilah hukum dalam akad (misalnya, dalam kontrak kerja atau sewa) akan dipahami sesuai 'Urf yang berlaku diwilayah tersebut, bukan selalu berdasarkan makna harfiah atau linguistiknya.

Dengan demikian, ISTIHSAN yang bersandar pada Kearifan Lokal ('Urf) berfungsi sebagai katup pengaman bagi hukum Islam. Ia memastikan Syariat tetap lentur, praktis, dan relevan, memungkinkan umat Islam untuk berinteraksi dan bertransaksi dalam lingkup budaya mereka tanpa harus melanggar batas-batas agama.

Syarat Diterimanya 'Urf sebagai Pijakan ISTIHSAN
Kearifan lokal atau 'Urf merupakan jembatan emas yang menghubungkan prinsip-prinsip abadi syariat dengan dinamika kehidupan manusia. Namun, tidak semua adat istiadat dapat diangkat menjadi pijakan hukum dalam Islam. Agar sebuah kebiasaan lokal dapat dijadikan dasar bagi ISTIHSAN (pengambilan keputusan yang mengutamakan kebaikan), ia harus melalui proses penyaringan yang ketat, memenuhi serangkaian syarat syar'i yang berfungsi sebagai filter keadilan.

1. Kepatuhan Mutlak pada Nash (Sumber Utama)
Syarat pertama dan terpenting adalah kearifan lokal tersebut tidak boleh bertentangan dengan Nash, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. 'Urf tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan ketetapan Ilahi. Jika suatu adat menghalalkan apa yang secara eksplisit diharamkan syariat (misalnya, praktik riba atau judi yang diwariskan secara turun-temurun), atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan, maka adat itu akan ditolak mentah-mentah. Kearifan lokal hanya bisa diterima selama ia bergerak dalam ruang lingkup yang diizinkan oleh teks-teks utama Syariat.
2. Berlaku secara Umum (Ghalabah)
Syarat kedua memastikan bahwa adat yang diakui benar-benar mencerminkan tatanan sosial, bukan hanya perilaku individual. Suatu kebiasaan harus berlaku di kalangan mayoritas masyarakat di wilayah tersebut. Urf yang dapat menjadi pijakan Istihsan bukanlah praktik segelintir orang yang menyimpang, melainkan kebiasaan yang telah dikenal luas dan menjadi norma baku dalam komunikasi serta transaksi mereka. Keumuman ini memberikan legitimasi sosial yang kuat, menjadikannya standar yang adil untuk menyelesaikan perselisihan.
3. Tidak Menimbulkan Kerusakan (Mafsadah)
Kearifan lokal haruslah sejalan dengan tujuan Agung Syariat (Maqashid Syariah), yaitu membawa kemaslahatan. Oleh karena itu, adat tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umum atau menyebabkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar. Misalnya, jika suatu adat istiadat menyebabkan pemborosan harta secara masif, atau justru memicu permusuhan antar-kelompok, maka meskipun ia sudah menjadi kebiasaan, ia harus dihentikan dan tidak dapat dijadikan Dasar Hukum. ISTIHSAN selalu berorientasi pada hasil terbaik bagi umat.

Dengan berpegangan pada tiga filter krusial ini, ISTIHSAN bertindak sebagai mekanisme Syar'i yang fleksibel. Ia memungkinkan fikih Islam untuk berinteraksi secara positif dengan kekayaan kearifan lokal yang konstruktif, mengadopsi kebiasaan-kebiasaan baik untuk mempermudah kehidupan. Pada akhirnya, interaksi dinamis antara ISTIHSAN dan 'Urf inilah yang memastikan hukum Islam tetap relevan, aplikatif, dan membawa kemaslahatan ditengah keragaman budaya diseluruh dunia, membuktikan bahwa syariat adalah solusi untuk setiap tempat dan setiap masa.*


*) Penulis adalah Pegiat Da'wah Aceh Selatan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Aceh Selatan, serta Pegawai Kemenag Aceh Selatan.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
43 Kasus Korupsi Dibongkar, Pemerintahan Prabowo-Gibran Tekan Kerugian Negara Rp320 Triliun!
Ketua NasDem Sumut Terima Permintaan Maaf Kapolda, Tapi Desak Proses Hukum Jalan Terus
Polisi Gerebek Pesta Seks Sesama Jenis di Surabaya, 34 Pria Diamankan
Kapolda Sumut Minta Maaf Atas Salah Tangkap Ketua NasDem
Andre Taulany Siap Bayar Nafkah Rp1 Miliar, Erin Balas dengan Ancaman Bongkar Bukti Pengkhianatan
Penguatan Aspek Hukum dalam Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Daerah di Tengah Dinamika Globalisasi
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru