BREAKING NEWS
Rabu, 22 Oktober 2025

Peran Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Mewujudkan Standarisasi Tata Kelola Berdasarkan Teori Hukum Kelembagaan

Redaksi - Selasa, 21 Oktober 2025 16:18 WIB
Peran Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Mewujudkan Standarisasi Tata Kelola Berdasarkan Teori Hukum Kelembagaan
Ervina Sari Sipahutar, S.H., M.H Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Sumatera Utara.(Foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

OLEH: Ervina Sari Sipahutar, S.H., M.H.

Perencanaan pembangunan merupakan unsur vital dalam sistem pemerintahan daerah karena menjadi fondasi dari seluruh tahapan Pembangunan mulai dari penentuan prioritas, pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik. Dalam kerangka otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyusun rencana pembangunan berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan potensi lokal. Namun, keleluasaan ini di banyak kasus belum disertai dengan tata kelola perencanaan yang standar dan seragam, sehingga menimbulkan ketimpangan kualitas perencanaan antardaerah.

Peran lembaga perencana di tingkat daerah menjadi sangat penting dalam mengkoordinasikan proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan secara terintegrasi dan sinkron. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini kerap menghadapi berbagai kendala struktural dan fungsional, baik karena tumpang tindih regulasi, ketidakjelasan kewenangan, maupun keterbatasan sumber daya. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan teoritik yang kuat dalam melihat dan menata ulang sistem kelembagaan perencanaan ini, salah satunya melalui pendekatan teori hukum kelembagaan.

Baca Juga:

Kerangka Teoritis: Teori Hukum Kelembagaan
Teori hukum kelembagaan memandang bahwa hukum bukan semata-mata kumpulan norma, melainkan juga kerangka yang membentuk dan mengatur institusi sosial serta fungsi-fungsi kelembagaan di dalam sistem negara. Hukum tidak hanya memberi legitimasi terhadap eksistensi sebuah lembaga, tetapi juga mendefinisikan struktur, fungsi, kewenangan, serta batas operasional kelembagaan tersebut. Dalam konteks perencanaan pembangunan, teori ini sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga perencana daerah harus dibentuk dan dijalankan agar mampu bekerja secara efektif dan terkoordinasi.

Menurut pendekatan ini, kelembagaan publik harus mampu menjalankan fungsinya secara substantif, bukan hanya eksis dalam bentuk struktur formal. Lembaga yang tidak memiliki kejelasan tugas, fungsi, dan tidak disertai dengan sumber daya memadai akan menjadi lembaga yang stagnan. Oleh karena itu, reformasi perencanaan pembangunan harus dimulai dari pembenahan kelembagaan, yang berarti menyempurnakan landasan hukum, memperjelas relasi antar aktor, serta membangun sistem kerja yang adaptif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan pembangunan.

Permasalahan Kelembagaan dalam Perencanaan Daerah
Berbagai persoalan kelembagaan masih menjadi penghambat dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan daerah. Salah satu masalah utama adalah disharmonisasi antara kebijakan pusat dan daerah, yang menciptakan ambiguitas dalam pelaksanaan tugas-tugas kelembagaan. Beberapa unit perencana di daerah sering kali tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengoordinasikan lintas sektor, karena adanya dominasi dari sektor-sektor teknis yang memiliki posisi lebih kuat dalam struktur birokrasi maupun dalam penguasaan anggaran. Selain itu, masih banyak unit perencana yang belum memiliki kapasitas sumber daya manusia dan sistem informasi perencanaan yang andal.

Kondisi ini menyebabkan dokumen perencanaan disusun hanya untuk memenuhi aspek administratif, tanpa melalui proses analisis kebijakan yang memadai dan berbasis data yang kuat. Ketimpangan kapasitas kelembagaan ini makin diperparah oleh belum adanya standar nasional yang mengatur secara rinci dan mengikat mengenai tata kelola penyusunan perencanaan pembangunan, baik dari segi metode, format, maupun substansi dokumen.

Variasi pendekatan dan kualitas dokumen perencanaan antardaerah membuat sinkronisasi perencanaan nasional dan daerah menjadi tidak optimal. Evaluasi pembangunan pun kerap menghadapi hambatan karena tidak adanya kesamaan indikator, sistem pemantauan, maupun basis data yang terintegrasi secara vertikal maupun horizontal.

Urgensi Standarisasi Tata Kelola Perencanaan
Standarisasi tata kelola perencanaan menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka menciptakan kesetaraan, efektivitas, dan akuntabilitas dalam pembangunan daerah. Standarisasi ini bukan bertujuan menyeragamkan isi perencanaan di seluruh wilayah, melainkan menyediakan kerangka umum, pedoman teknis, dan prosedur kerja yang dapat digunakan secara nasional. Dengan adanya standar, proses perencanaan dapat lebih sistematis, transparan, partisipatif, dan berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat. Upaya standarisasi dapat diwujudkan melalui penguatan sistem digital nasional dalam bidang perencanaan, seperti penerapan platform informasi terintegrasi. Sistem digital ini dapat memfasilitasi penyusunan, pelaporan, pemantauan, hingga evaluasi pembangunan dengan lebih cepat dan akurat.

Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada kesiapan kelembagaan perencana di daerah, baik dalam hal struktur organisasi, regulasi pendukung, maupun kompetensi aparatur.
Dari kacamata teori hukum kelembagaan, implementasi sistem digital tersebut memerlukan penguatan norma hukum yang mengatur kewajiban, mekanisme kerja, dan keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam perencanaan. Tanpa fondasi hukum yang kokoh, sistem digital hanya akan menjadi instrumen pelengkap, tanpa memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas tata kelola.

Penguatan Kelembagaan Melalui Hukum Responsif
Kelembagaan yang efektif tidak hanya ditentukan oleh struktur formal, tetapi juga oleh kemampuan adaptasi dan daya tanggap terhadap perubahan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan hukum yang bersifat responsif—yakni hukum yang tidak kaku dan birokratis, tetapi mampu menyesuaikan dengan kebutuhan publik dan dinamika pembangunan daerah. Hukum responsif menekankan pentingnya regulasi yang terbuka terhadap partisipasi masyarakat, fleksibel dalam implementasi, dan mampu mendorong inovasi kelembagaan. Hal ini dapat dicapai melalui penyusunan peraturan daerah yang lebih akomodatif, pembentukan sistem insentif kelembagaan, serta penguatan sistem evaluasi kinerja berbasis hasil. Di sisi lain, peran pemerintah pusat dalam menyusun kebijakan nasional yang bersifat harmonis dan mendukung keberagaman lokal juga sangat krusial.

Tanpa dukungan hukum yang responsif dan sistem kelembagaan yang kuat, perencanaan pembangunan daerah berpotensi menjadi aktivitas simbolik tanpa dampak nyata. Oleh karena itu, transformasi kelembagaan harus berjalan seiring dengan pembaruan hukum agar mampu membentuk sistem perencanaan yang adaptif, terarah, dan berkelanjutan.

Penutup
Kelembagaan perencanaan pembangunan daerah memainkan peran strategis dalam memastikan keberhasilan pembangunan yang terencana, terukur, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Namun, optimalisasi peran ini sangat bergantung pada kejelasan landasan hukum, struktur organisasi yang efisien, serta tata kelola yang standar dan terintegrasi. Teori hukum kelembagaan memberikan pemahaman bahwa pembenahan institusi publik tidak hanya menyangkut aspek formal kelembagaan, tetapi juga substansi fungsi dan efektivitasnya dalam menjawab tantangan pembangunan.

Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dari seluruh pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah, untuk melakukan reformasi hukum dan kelembagaan secara menyeluruh. Langkah ini menjadi fondasi penting dalam membangun sistem perencanaan pembangunan daerah yang profesional, inovatif, dan berkelanjutan demi tercapainya tujuan pembangunan nasional secara lebih merata dan adil.

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Sumatera Utara

Editor
: Mutiara
0 komentar
Tags
beritaTerkait
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru