DARI sudut desa di Sumatera Utara, jauh dari hiruk-pikuk pusat kekuasaan, saya menyaksikan gejala yang makin sering dikeluhkan masyarakat: bahwa demokrasi Indonesia kian berjalan pincang. Bukan sekadar karena kontestasi politik yang keras, melainkan karena struktur kekuasaannya sendiri yang tampak mengarah pada sentralisasi dan pemanfaatan instrumen negara untuk tujuan politik jangka pendek.
Sejumlah peristiwa pada periode menjelang Pemilu 2024 hingga kini memberikan gambaran bahwa kualitas demokrasi Indonesia sedang mengalami penurunan signifikan. Mulai dari temuan para pakar dalam dokumenter Dirty Vote, kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat usia calon presiden/wakil presiden, hingga meningkatnya beban utang luar negeri dan megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sarat dengan risiko pembiayaan.
Tulisan ini mencoba memotret tiga hal besar: arah politik, integritas lembaga negara, dan keberlanjutan ekonomi. Ketiganya berkait satu sama lain dan membentuk gambaran tentang masa depan demokrasi Indonesia.
I. Dirty Vote: Politik Elektoral yang Mengaburkan Netralitas Negara
Rilis dokumenter Dirty Vote pada 11 Februari 2024 menjadi salah satu momen paling penting dalam evaluasi publik terhadap proses pemilu. Disutradarai Dandhy Dwi Laksono, film ini menghadirkan tiga pakar hukum tata negara: Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dr. Feri Amsari, dan Dr. Bivitri Susanti. Ketiganya memiliki reputasi akademik yang kredibel dan kerap menjadi rujukan dalam pembahasan konstitusi maupun proses demokrasi.
Dalam film itu, para pakar menguraikan dugaan adanya penyalahgunaan instrumen negara untuk kepentingan elektoral. Beberapa isu utama yang mereka angkat meliputi:
1. Ketidaknetralan aparatur negara
ASN dan pejabat publik disebut terlibat dalam upaya pemenangan kandidat tertentu melalui instruksi terselubung maupun pemanfaatan program pemerintah. Skema penyaluran bantuan sosial yang meningkat menjelang pemilu juga menjadi sorotan.
2. Manipulasi data dan birokrasi
Zainal Arifin Mochtar menyoroti bagaimana basis data administrasi kependudukan dan struktur birokrasi dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan preferensi pemilih ataupun mengintervensi tahapan pemilu.
3. Politik uang dan intimidasi
Analisis para pakar menunjukkan potensi adanya tekanan terhadap pemilih, perangkat desa, hingga panitia pemilu. Praktik semacam ini, apabila benar terjadi secara sistemik, mengaburkan batas antara kampanye legal dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Konflik kepentingan dalam upaya mendorong pemilu satu putaran
Film itu menyinggung bahwa dorongan "cukup satu putaran" bukan sekadar strategi kampanye, melainkan bagian dari upaya mengamankan hasil pemilu melalui percepatan politik yang meminimalkan waktu koreksi publik.
Kekuatan film Dirty Vote bukan pada sensasi, melainkan pada narasi akademik yang memadukan data, regulasi, dan analisis struktural. Reaksi publik pun masif, mulai dari diskusi kampus hingga analisis media internasional. Kontroversi ini menunjukkan bahwa isu integritas pemilu tidak lagi bersifat insidental, tetapi telah menyentuh jantung persoalan demokrasi Indonesia.
II. Putusan MK 90/2023 dan Krisis Etik di Lembaga Penjaga Konstitusi
Salah satu peristiwa paling menentukan dalam dinamika politik Indonesia adalah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang merevisi tafsir syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Keputusan ini memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka — putra Presiden Joko Widodo — untuk maju sebagai cawapres dalam usia belum 40 tahun.
Kontroversi muncul karena putusan tersebut dianggap memiliki konflik kepentingan, mengingat Ketua MK saat itu, Anwar Usman, merupakan paman Gibran. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kemudian menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran etik berat dalam proses pengambilan keputusan.
Beberapa pakar hukum memberikan kritik keras:
• Feri Amsari menilai putusan tersebut sebagai "karpet merah politik".
• Bivitri Susanti menyebutnya sebagai contoh conflict of interest yang "sangat terang dan tak dapat dibantah".
• Analisis akademis menunjukkan bahwa proses pembacaan putusan terkesan terburu-buru dan tidak melalui proses deliberasi yang memadai.
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar: apabila lembaga setinggi MK dapat dibayangi konflik kepentingan, bagaimana nasib keadilan konstitusional dan perlindungan demokrasi ke depan?
Implikasinya sangat besar. Legitimasi lembaga penjaga konstitusi melemah, dan kepercayaan publik terhadap integritas sistem hukum mengalami keretakan. Dampaknya bukan hanya jangka pendek, tetapi bisa berlangsung lama.
III. Ledakan Utang Luar Negeri dan Risiko Fiskal Jangka Panjang
Dalam bidang ekonomi, beban fiskal Indonesia terus meningkat. Data resmi Bank Indonesia (Januari 2025) mencatat utang luar negeri berada di angka US$ 427,5 miliar. Pemerintah menyatakan struktur utang ini sehat karena didominasi utang jangka panjang.
Namun sejumlah ekonom memperingatkan bahwa:
• Kenaikan suku bunga global dapat meningkatkan beban pembayaran bunga.
• Pelemahan rupiah akan menaikkan biaya pelunasan utang.
• Peningkatan belanja negara yang tidak disertai peningkatan penerimaan pajak dapat memperlemah ruang fiskal.
Dalam beberapa tahun terakhir, dukungan fiskal untuk berbagai program strategis naik signifikan, sementara penerimaan negara relatif stagnan. Narasi "utang untuk pembangunan" memang sering disampaikan, tetapi persoalan sesungguhnya terletak pada keberlanjutan utang dan risiko ketergantungan pada pembiayaan eksternal.
Utang bukan sekadar angka—ia adalah komitmen jangka panjang yang harus ditanggung oleh generasi berikutnya.
IV. Ibu Kota Nusantara: Antara Ambisi Besar dan Risiko Finansial
Ibu Kota Nusantara (IKN) merupakan proyek paling ambisius pemerintahan Jokowi. Dengan total kebutuhan anggaran sekitar Rp 466 triliun, proyek ini diproyeksikan menjadi pusat pemerintahan baru yang modern dan berkelanjutan.
Namun sejumlah catatan muncul:
1. Beban APBN meningkat
Hingga Juli 2024, APBN telah menghabiskan Rp 83,4 triliun, mendekati batas porsi negara yang sebenarnya direncanakan sebesar Rp 89,4 triliun.
2. Skema pendanaan tidak sepenuhnya jelas
Sebagian besar anggaran diharapkan berasal dari KPBU dan investasi swasta. Namun minat investor tidak sekuat yang diperkirakan pemerintah. Banyak investor menunggu regulasi dan jaminan keberlanjutan politik.
3. Risiko overruns
Proyek sebesar ini secara historis rentan mengalami pembengkakan biaya. ICW dan sejumlah lembaga pengawas mengingatkan potensi risiko pengadaan dan akuntabilitas.
4. Dampak sosial dan lingkungan
Pemindahan penduduk, alih fungsi lahan, dan perubahan ekosistem di wilayah hutan Kalimantan menjadi perhatian banyak pihak.
IKN mungkin menjadi ikon pembangunan. Namun tanpa transparansi dan pengelolaan fiskal yang kuat, ia bisa menjadi beban berat bagi negara dalam jangka panjang.
V. Arah Masa Depan: Demokrasi dan Ekonomi yang Terikat Satu Sama Lain
Ketiga isu besar — integritas pemilu, independensi lembaga hukum, dan beban ekonomi — bukanlah persoalan terpisah. Mereka terhubung dalam satu pola: konsolidasi kekuasaan yang berjalan bersamaan dengan ekspansi belanja negara dan kebijakan besar yang berisiko tinggi.
1. Demokrasi yang tidak seimbang
Ketika lembaga-lembaga negara tidak netral, kompetisi politik tidak lagi berlangsung secara adil. Pemilu kehilangan makna sebagai sarana penentuan pemimpin oleh rakyat.
2. Lembaga konstitusi yang melemah
Kasus MK menunjukkan bahwa integritas lembaga tinggi negara dapat terancam ketika kepentingan politik masuk terlalu dalam.
3. Beban ekonomi yang terus menumpuk
Utang luar negeri yang meningkat dan proyek-proyek besar yang tidak sepenuhnya terukur menambah kerentanan fiskal.
4. Dampaknya pada generasi mendatang
Keputusan politik hari ini akan menentukan stabilitas sosial-ekonomi Indonesia di masa depan. Kebijakan yang tidak berhati-hati bisa meninggalkan beban yang sangat besar.
VI. Penutup: Mengembalikan Demokrasi kepada Rakyat
Dalam demokrasi yang sehat, rakyat bukan sekadar pemilih, tetapi pengawas kekuasaan. Namun selama beberapa tahun terakhir, ruang kritik seringkali dipersempit, dan narasi pembangunan digunakan untuk menutupi persoalan yang lebih struktural.
Sudah saatnya publik kembali berperan aktif:
• mengawasi kebijakan,
• mengkritisi kekuasaan,
• menuntut transparansi,
• dan memastikan lembaga negara bekerja untuk rakyat, bukan untuk kelompok tertentu.
Masa depan Indonesia tidak boleh dibangun di atas fondasi demokrasi yang rapuh dan risiko ekonomi yang tidak terkendali. Demokrasi hanya dapat bertahan apabila masyarakat tetap waspada dan lembaga negara dipulihkan integritasnya.
Dan pada akhirnya, pertanyaan utamanya adalah: apakah republik ini akan diwariskan sebagai negara yang kuat dan demokratis, atau sebagai negara dengan demokrasi yang menipis dan beban utang yang menjerat?
Jawabannya bergantung pada bagaimana rakyat dan pemimpin hari ini menjaga arah perjalanan bangsa*(Taufik)