MEDAN — Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang akan memangkas hari belajar bagi siswa SMA dan SMK menjadi lima hari dalam sepekan menuai sorotan.
Kebijakan itu dinilai hanya ingin menghadirkan keuntungan dari sisi penghematan biaya operasional, namun berpotensi menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan antardaerah di tingkat nasional.
Menurut Sohibul Anshor Siregar, pengamat sosial dan pendidikan di Sumatera Utara, kebijakan tersebut semestinya berada di bawah kewenangan otoritas nasional karena sistem pendidikan Indonesia bersifat terintegrasi.
"Kurikulum dan jenjang pendidikan itu satu sistem nasional. Jadi, perubahan hari belajar seharusnya diputuskan oleh pembijaksana negara, bukan oleh pemerintah daerah secara sepihak," kata Siregar saat dihubungi di Medan, Selasa (3/6/2025).
Siregar mempertanyakan dampak kebijakan itu terhadap kesiapan lulusan SMA Sumut dalam menghadapi persaingan masuk perguruan tinggi kelak.
Ia menilai, dengan waktu belajar yang berkurang, siswa justru akan merasa perlu mengikuti bimbingan belajar (bimbel) komersial yang biayanya tidak terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
"Dalam kondisi 6 hari belajar saja, tanyakanlah ke kepala SMA mana saja, atau guru senior yang anaknya sedang di bangku SMA, apakah mereka yakin lulusan sekolahnya cukup siap bersaing masuk PTN tanpa tambahan bimbel? Saya rasa jawabannya skeptis, karena faktanya industri bimbil begitu pesat disediakan sesuai deman orang dari kelas atas" ujar Siregar.
Kekhawatiran juga disampaikan terhadap lulusan SMK. Pengurangan satu hari efektif belajar dalam sepekan dinilai akan berdampak langsung pada waktu praktik kejuruan.
Hal ini bisa menurunkan daya saing lulusan SMK dalam memperebutkan lapangan kerja.
"Penghematan 1 atau 2 triliun rupiah dari pengurangan hari belajar mungkin menguntungkan dari sisi anggaran, tapi pendidikan bukanlah kalkulasi pedagang. Ini investasi masa depan sebuah bangsa," ujarnya.
Kesenjangan dan Fragmentasi Manajemen
Siregar juga menyoroti tata kelola pendidikan yang terfragmentasi. Meski secara nasional pendidikan dasar dan menengah berada di bawah satu kementerian, pada praktiknya SMA/SMK di daerah dikelola oleh dinas berbeda dari SMP ke bawah.
Ia menyebut hal itu sebagai kegagalan filosofis dalam pengelolaan pendidikan secara nasional yang berawal dari kesalahan filosofi Presiden terpilih yang memiliki hak prerogatif membentuk kementerian dan mengangkat menteri.
"Pendidikan itu kontinum. Pengelolaannya seharusnya dijaga dalam satu sistem manajerial agar transisi antarjenjang berjalan mulus dan terkoordinasi," ujar Siregar.
Evaluasi Nasional Diperlukan
Siregar menegaskan bahwa kebijakan ini mesti dikaji ulang secara nasional.
"Pendidikan tidak boleh didesain berdasarkan efisiensi anggaran semata. Prinsipnya, '10 dikali 1' jauh lebih pedagogis daripada Ƈ dikali 10'. Pendidikan itu butuh waktu, kedalaman, dan kesinambungan," ujarnya.