BREAKING NEWS
Minggu, 19 Oktober 2025

Studi UNICEF: Gen Z Lebih Suka Konsumsi Berita, tapi Rentan Stres dan Cemas

Adelia Syafitri - Senin, 30 Juni 2025 09:14 WIB
Studi UNICEF: Gen Z Lebih Suka Konsumsi Berita, tapi Rentan Stres dan Cemas
Ilustrasi. (foto: Bing Image Creator/mp)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA– Sebuah studi terbaru yang dirilis oleh Koalisi Global untuk Kesehatan Mental Remaja yang dipimpin UNICEF mengungkap fenomena mencengangkan, yaitu Generasi Z, mereka yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, ternyata lebih gemar mengonsumsi berita dibandingkan jenis konten lainnya.

Penemuan ini bertentangan dengan stereotip umum yang menyebut Gen Z lebih tertarik pada konten hiburan atau viral di media sosial.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya ketertarikan mereka terhadap berita, tetapi dampak emosional serius yang ditimbulkan oleh paparan informasi global yang konstan.

Dalam laporan yang melibatkan lebih dari 5.600 responden berusia 14 hingga 25 tahun dari berbagai negara, ditemukan bahwa 60% Gen Z merasa kewalahan oleh berita, terutama yang bertema konflik geopolitik, krisis iklim, hingga ketidakstabilan ekonomi.

"Bagi banyak orang muda, beban dari berbagai krisis ini sangat personal, tercermin dalam pikiran, tubuh, dan harapan mereka terhadap masa depan," ujar Dr. Zeinab Hijazi, Pemimpin Global UNICEF untuk Kesehatan Mental, dalam wawancara bersama Arab News, Minggu (29/6/2025).

Hijazi menyebut, paparan berita yang tidak terkendali dapat merusak kepercayaan diri dan memperburuk kondisi psikologis anak muda, terutama ketika dukungan kesehatan mental belum tersedia secara merata.

Salah satu sumber utama paparan berita Gen Z berasal dari media sosial, dengan TikTok tercatat sebagai aplikasi favorit oleh 21% responden.

Namun, keunggulan akses ini disertai risiko besar berupa misinformasi, propaganda, dan rendahnya pemahaman kontekstual.

"Anak muda perlu dibekali kemampuan berpikir kritis. Bagian otak yang mengatur pengambilan keputusan rasional belum sepenuhnya berkembang pada usia mereka," jelas Dr. Shaima Al-Fardan, psikolog klinis di Uni Emirat Arab.

Al-Fardan menambahkan, paparan terus-menerus terhadap berita dapat menciptakan pola pikir negatif dan memperkuat isolasi sosial, terutama jika tidak diimbangi dengan interaksi nyata dan literasi digital yang memadai.

Lebih dari 67% responden mengaku merasa lebih tertekan ketika mengakses berita internasional, dibandingkan dengan berita nasional (60%) dan lokal (40%).

Konflik berkepanjangan seperti di Gaza disebut sebagai salah satu pemicu utama kecemasan.

Namun ironisnya, hanya 50% Gen Z yang mengetahui ke mana harus mencari bantuan psikologis, sementara 40% lainnya merasa malu membicarakan isu kesehatan mental di sekolah atau tempat kerja.

Stigma sosial, biaya tinggi, serta keterbatasan jumlah terapis yang kompeten disebut sebagai hambatan utama.

"Kesehatan mental bukanlah efek samping dari krisis, melainkan fondasi penting dalam membangun masa depan," tegas Hijazi.

UNICEF menyerukan kolaborasi multisektor untuk menangani masalah ini secara serius.

Pendidikan literasi media, pembatasan paparan berita, serta kebiasaan digital yang sehat harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan dan lingkungan sosial.

Elizabeth Matar, dosen media di Universitas Amerika Emirates, menambahkan bahwa keterlibatan terhadap isu global tidak cukup hanya bersifat reaktif atau tren sesaat.

"Kita harus mendorong kualitas keterlibatan, bukan sekadar kuantitas. Penting untuk memahami apakah keterlibatan tersebut benar-benar mendalam atau hanya memicu dampak negatif tambahan," ujarnya.

Studi ini diluncurkan dalam rangkaian KTT Inovasi Sosial di San Francisco dan menjadi pengingat keras bahwa dalam era digital yang sarat informasi, kesehatan mental generasi muda harus dijaga dengan pendekatan menyeluruh dan berkelanjutan.*

(bs/a008)

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru