JAKARA - Mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, kini menjadi sorotan setelah dijerat sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Haniv diduga menerima gratifikasi dengan total nilai yang mencapai Rp 21,5 miliar.
Kasus ini semakin mencuat setelah KPK mengungkapkan bahwa penerimaan gratifikasi bermula dari permintaan Haniv kepada pihak terkait untuk mencarikan sponsor bagi fashion show anaknya, Feby Paramita.
Muhammad Haniv, yang lahir pada 1 Januari 1970, merupakan sosok yang sudah berpengalaman di dunia perpajakan Indonesia.
Dalam perjalanan kariernya, Haniv mengemban sejumlah jabatan strategis di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Pada 2011, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Aceh, yang kemudian dilanjutkan dengan promosi ke posisi Kepala Kantor Wilayah DJP Banten pada 2013.
Puncaknya, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus hingga 2019, sebelum akhirnya dilantik menjadi Widyaiswara Ahli Utama di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan pada Januari 2019.
Nama Haniv sebelumnya sempat mencuat pada 2017 ketika ia disebut-sebut terkait dengan kasus suap yang melibatkan pejabat DJP DKI Jakarta Khusus, Handang Soekarno.
Dalam sidang tersebut, PT Eka Prima Ekspor Indonesia (PT EKP) diduga memberikan suap berupa uang sebesar 148.500 dolar AS (sekitar Rp 1,98 miliar) kepada Handang, yang merupakan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum DJP.
Suap tersebut diduga diberikan agar Handang dan Haniv membantu mempercepat penyelesaian permasalahan pajak yang dihadapi oleh perusahaan tersebut.
Pemberian uang tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi komitmen senilai Rp 6 miliar untuk kedua pejabat pajak tersebut.
Sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang disampaikan Haniv pada 10 Februari 2022, ia tercatat memiliki kekayaan total mencapai Rp 19,99 miliar.
Kekayaan tersebut terdiri dari sejumlah aset, termasuk 12 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di wilayah Bekasi, Jakarta Selatan, Tangerang, dan Bogor, yang bernilai Rp 15,28 miliar.
Selain itu, Haniv juga tercatat memiliki empat kendaraan mewah, yaitu Toyota Fortuner, BMW, Toyota Camry, dan Mercedes Benz A200, yang nilainya mencapai Rp 1,68 miliar.
Harta bergerak lainnya bernilai Rp 721 juta, serta kas dan setara kas sebesar Rp 2,31 miliar.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari Muhammad Haniv maupun anaknya terkait dengan dugaan gratifikasi yang disangkakan oleh KPK.
Proses hukum terhadap Haniv pun masih berjalan, dan KPK terus mengumpulkan bukti-bukti terkait penerimaan gratifikasi yang diduga dilakukan oleh Haniv selama menjabat sebagai pejabat di lingkungan DJP.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat jabatan strategis yang pernah diemban Haniv serta peranannya dalam sistem perpajakan Indonesia.
Pemberantasan korupsi terus dilakukan oleh KPK untuk memastikan bahwa praktik gratifikasi dan suap tidak terjadi dalam lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjalankan tugasnya dengan profesional dan transparan.
Dengan dijeratnya Muhammad Haniv dalam kasus gratifikasi ini, diharapkan akan lebih banyak pembenahan dan pengawasan terhadap pejabat publik di Indonesia, khususnya di sektor perpajakan.
Semoga proses hukum yang sedang berjalan dapat memberikan keadilan dan memberikan efek jera terhadap praktik-praktik korupsi di lingkungan pemerintah.