JAKARTA — Praktik pemberian hadiah dari penghutang kepada pihak yang memberikan pinjaman kembali menjadi sorotan, terutama dari sudut pandang hukum Islam.
Meski tampak seperti bentuk penghormatan atau rasa terima kasih, para ulama mengingatkan bahwa tindakan ini memiliki potensi besar mengandung unsur riba dan risywah (sogokan), jika dilakukan dalam konteks yang salah.
Dalam literatur fikih, dikenal kaidah:
"Setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberi utang), maka itu adalah riba."
Meskipun hadis yang menjadi asal kaidah ini dinilai lemah dari sisi sanad, para ulama sepakat bahwa makna kaidah ini sahih dan berlaku dalam praktik muamalah.
Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, yang menyatakan bahwa setiap manfaat dari utang yang bersifat tambahan bagi pihak pemberi pinjaman tergolong riba yang dilarang secara ijma' (kesepakatan ulama).
Tak hanya menyangkut riba, hadiah dalam konteks utang-piutang juga bisa termasuk dalam kategori risywah.
Sejumlah penghutang memberikan hadiah kepada kreditur dengan harapan mendapat keringanan, penundaan, atau perlakuan istimewa lainnya terkait utangnya.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menjelaskan, jika hadiah atau bantuan diberikan agar utang diperlunak atau diperpanjang, atau untuk menarik simpati pemberi utang, maka hal tersebut diharamkan, karena termasuk riba atau sogokan terselubung.
Dari berbagai pendapat mazhab, mayoritas ulama menyatakan bahwa:
Hadiah dari penghutang sebelum pelunasan utang tidak boleh diterima, kecuali sudah ada kebiasaan memberi hadiah sebelumnya, atau hadiah itu dihitung sebagai pelunasan utang.
Hadiah setelah pelunasan utang umumnya dibolehkan, bahkan dianjurkan sebagai bentuk balas jasa dan wujud akhlak yang baik.