BEKASI - Warga dan jamaah Masjid Raya Jatimulya, Bekasi, menolak rencana pembangunan kantor kelurahan di lahan yang selama ini menjadi pusat kegiatan ibadah dan sosial masyarakat. Penolakan ini disampaikan dalam pertemuan warga yang digelar di lingkungan masjid pada Kamis, (25 September 2025).
Masjid Raya Jatimulya bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, kegiatan keluarga, dan mobilisasi warga. Keberadaan masjid dan fasilitas sekitarnya merupakan satu-satunya ruang publik yang dimanfaatkan oleh masyarakat Jatimulya, baik muslim maupun non-muslim.
Koordinator Pengurus Masjid Raya Jatimulya menyatakan, "Masjid ini sudah menjadi teladan dan fasilitas utama bagi warga Jatimulya. Anak-anak sekolah, ibu-ibu, bahkan seluruh warga menjadikan kawasan ini sebagai pusat aktivitas. Kalau digantikan kantor kelurahan, jelas kami menolak." Penolakan ini juga karena kekhawatiran hilangnya ruang publik yang telah diperjuangkan selama lebih dari 30 tahun.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi telah merekomendasikan agar pembangunan kantor kelurahan dialihkan ke lahan fasos-fasum di RW 16, yang dinilai lebih tepat tanpa mengorbankan fasilitas ibadah dan sosial masyarakat.
Pembina Yayasan Persatuan Masjid Raya Jatimulya, Hadiat, menegaskan pengelolaan lahan fasos-fasum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat luas, bukan mengorbankan fasilitas yang sudah berjalan. "Kami tidak menolak pembangunan kantor kelurahan, tapi jangan di sini, karena tidak ada pengganti fungsi masjid ini sebagai pusat kegiatan warga," ujarnya.Warga meminta camat, lurah, dan bupati agar mendengar aspirasi mereka dengan bijak. Mereka berharap Masjid Raya Jatimulya tetap menjadi pusat kegiatan agama dan sosial masyarakat Jatimulya. Perjuangan mempertahankan masjid bukan sekadar soal tempat ibadah, melainkan simbol persatuan warga.*
Editor
: Justin Nova
Masjid Raya Jatimulya: Simbol Persatuan dan Pusat Kegiatan Masyarakat yang Terancam