BREAKING NEWS
Rabu, 15 Oktober 2025

Bahlil Heran Penggunaan Etanol Dipersoalkan: “Mungkin Sekolahnya Terlalu Pintar”

Abyadi Siregar - Selasa, 14 Oktober 2025 22:23 WIB
Bahlil Heran Penggunaan Etanol Dipersoalkan: “Mungkin Sekolahnya Terlalu Pintar”
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. (foto: bahlillahadalia/ig)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia buka suara terkait polemik rencana pemerintah menerapkan campuran etanol 10 persen (E10) dalam bahan bakar minyak (BBM) nasional.

Ia menyayangkan kritik yang dilontarkan sejumlah pihak, mengingat penggunaan etanol dalam BBM sudah menjadi praktik umum di berbagai negara.

Bahlil bahkan menyindir para pengkritik yang menurutnya terlalu "pintar" dalam menanggapi kebijakan ini.

Baca Juga:

"Kok masih dipersoalkan hal-hal yang ya mungkin sekolahnya terlalu pintar mungkin, karena saya sekolahnya di Google enggak ada kali ya," kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Menurut Bahlil, penerapan E10 adalah bagian dari strategi nasional untuk menekan impor BBM dan mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi.

Ia memaparkan bahwa kebutuhan bensin nasional per tahun mencapai 42 juta ton, sementara kapasitas produksi dalam negeri baru berada di kisaran 14–15 juta ton.

Alhasil, Indonesia masih harus mengimpor sekitar 25–27 juta ton bensin setiap tahunnya.

"Kalau kita campur (BBM) dengan etanol 10 persen secara mandatori, kita bisa menghemat impor sampai 4,2 juta ton per tahun," ujarnya.

Bahlil menegaskan bahwa penggunaan etanol dalam BBM bukanlah inovasi baru, melainkan standar yang telah lama diterapkan di berbagai negara.

Ia menyebut Amerika Serikat telah menjadikan campuran etanol 10 persen sebagai standar nasional, sementara India kini menerapkan mandatori 20 persen, dan Brasil bahkan telah mencapai 27 persen.

"Beberapa negara penghasil etanol sudah mencampurkan hingga 85 persen. Bahkan di beberapa negara bagian Amerika, mereka langsung pakai E100 karena punya stok etanol yang cukup," jelasnya.

Sebelumnya, diskusi mengenai E10 kembali mencuat setelah publik menyoroti temuan etanol sebesar 3,5 persen dalam base fuel yang diimpor oleh Pertamina.

Hal ini ramai diperbincangkan di media sosial dan memicu pertanyaan soal transparansi bahan bakar yang beredar di dalam negeri.

Namun Bahlil menilai hal itu tidak perlu dipermasalahkan secara berlebihan.

Ia menekankan bahwa ke depan, Indonesia harus secara serius mendorong produksi bioetanol domestik agar tidak lagi bergantung pada impor dan mampu menciptakan rantai pasok energi yang berkelanjutan.

Penerapan E10 juga sejalan dengan agenda transisi energi dan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon sesuai target Net Zero Emission (NZE) 2060.

Campuran etanol dianggap mampu menurunkan jejak karbon kendaraan bermotor, tanpa harus mengubah sistem mesin secara besar-besaran.

"Kita tidak mungkin terus bergantung pada energi fosil. Biofuel seperti etanol adalah masa depan, dan Indonesia harus ikut bergerak," tegas Bahlil.

Polemik E10 mencerminkan masih adanya resistensi terhadap kebijakan transisi energi, meski praktik ini telah terbukti efektif di negara lain.

Pemerintah berharap edukasi dan transparansi yang lebih baik dapat mendorong publik untuk memahami manfaat jangka panjang dari kebijakan ini.*


(vo/a008)

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Pemerintahan Prabowo Sudah Gelontorkan Rp192 Triliun untuk Subsidi BBM dan LPG
Bahlil: Masa Percaya Medsos Dibanding BPS?
Mulai 2026! Subsidi LPG, BBM, dan Listrik Akan Gunakan Data DTSEN: Fokus ke Rumah Tangga Miskin
Pertamina Patra Niaga Akselerasi Layanan SPBU dan Edukasi Bioetanol ke Publik
Bagaimana Nasib Ekspor Udang Indonesia di Tengah Isu Radioaktif?
Korupsi Tata Kelola Minyak: Riza Chalid dan 15 Perusahaan Raup Untung Rp2,5 Triliun, Negara Rugi Rp285 Triliun!
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru