JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keprihatinannya terhadap beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang dinilai berpotensi menghambat efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyoroti secara khusus dua hal krusial dalam draf RUU tersebut, yakni aturan mengenai penyadapan dan kewenangan penyelidik.
"Penyadapan ini sangat penting dalam proses penyelidikan, karena menjadi salah satu metode untuk mendapatkan informasi awal, termasuk dalam menemukan peristiwa pidana maupun dua alat bukti permulaan," ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (15/7/2025).
Dalam draf revisi KUHAP yang beredar, penyadapan hanya diperbolehkan dilakukan pada tahap penyidikan dan harus melalui izin pengadilan.
Padahal, KPK selama ini melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan, sebagai bagian dari proses awal pengumpulan bukti dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Jika ketentuan ini tetap diberlakukan, maka KPK baru dapat menyadap setelah kasus secara resmi dinaikkan ke tahap penyidikan.
Budi menilai hal ini akan mengurangi efektivitas dalam menangani perkara korupsi yang seringkali memerlukan informasi awal yang tersembunyi.
Tak hanya penyadapan, KPK juga menyoroti klausul yang menyatakan bahwa penyelidik hanya diberi kewenangan untuk mencari peristiwa pidana, bukan lagi mengumpulkan alat bukti.
"Selama ini, penyelidik KPK dapat mengumpulkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka. Jika aturan ini diberlakukan, maka ruang gerak penyelidik menjadi terbatas," tambah Budi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa KPK memiliki kewenangan mandiri dalam hal pengangkatan penyelidik.
Oleh karena itu, pasal-pasal yang mengatur secara berbeda dalam RUU KUHAP dinilai kontraproduktif terhadap semangat independensi lembaga antikorupsi.
Budi menyatakan bahwa KPK akan menyampaikan seluruh masukan tersebut secara resmi kepada pemerintah dan DPR.